Rabu, 23 April 2014
18.58
Unknown
Oleh
Ustadz Sufyan bin Fuad Baswedan,MA
Untuk menjawab masalah yang cukup penting ini, kita perlu
memiliki gambaran yang jelas apa itu pensiun? Apakah hakikat dari uang
pensiunan? Bagaimana seseorang bisa mendapatkannya? Dan bagaimana sebenarnya
pengelolaan uang pensiun tadi?
Untuk itu, berikut ini penulis kutipkan beberapa hal dari
brosur resmi yang diedarkan oleh Biro Dana Pensiun[1] dan dari sumber-sumber
terkait lainnya sebagaimana berikut ini.
Ketika kita pada usia produktif dan bekerja, kita memperoleh
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bagi yang bekerja pada sebuah
pemberi kerja (perusahaan, lembaga pendidikan, dan lain-lain) umumnya menerima
penghasilan secara rutin setiap bulan. Ketika kita mencapai usia pensiun,
sebagian dari kita masih menerima penghasilan secara rutin dari pemberi kerja,
yaitu berupa uang pensiun. Adapun Program Pensiun adalah suaru program yang
mengupayakan tersedianya uang pensiun (atau disebut juga manfaat pensiun) bagi
pesertanya.
Definisi dana pensiun menurut UU No. 11/1992: Dana pensiun
merupakan badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan
manfaat pensiun bagi pesertanya.
Sejak diberlakukan Undang-undang No. 11 Tahun 1992, di
Indonesia hanya ada dua lembaga yang dapat menyelenggarakan program dana
pensiun, yaitu Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) dan Dana Pensiun Pemberi
Kerja (DPPK).
DPPK adalah sebuah lembaga yang dibuat oleh sebuah
perusahaan guna mengelola dana pensiun para pekerjanya. Oleh karena itu,
peserta DPPK hanya terbatas pada mereka yang terikat hubungan kerja dengan
perusahaan yang membuat DPPK atau biasa disebut tertutup. Pengurus dari DPPK
bukan pendiri, melainkan orang atau badan yang ditunjuk dan mendapatkan
pengesahan Menteri untuk menjalankan dan mengelola dana pensiun. Sedang DPLK
merupakan sebuah badan yang bisa didirikan oleh dua lembaga, yaitu Bank Umum
dan Perusahaan Asuransi Jiwa.
DPLK memiliki fungsi yang lebih luas dibanding dengan DPPK,
yakni seluruh masyarakat, baik perorangan maupun kelompok dapat menjadi peserta
dana pensiun. Berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 1992, terdapat tiga unsur
yang terlibat dalam program pensiun melalui DPLK. Pertama, peserta, yang
menyetor iuran dan menikmati pensiun. Kedua, DPLK, yang menyelenggarakan
program pensiun. Ketiga, Perusahaan Asuransi Jiwa, yang menyediakan fasilitas
anuitas[2] sebagai manfaat pensiun yang diberikan secara berkala kepada
peserta.
Dari keterangan di atas, bisa kita simpulkan bahwa pensiun
adalah keadaan saat seseorang tidak lagi aktif bekerja sebagai pegawai atau
karyawan di suatu perusahaan. Pun begitu, tidak hanya karyawan atau pegawai
yang bisa mendapatkan uang pensiun, namun semua orang bisa mendapatkannya
dengan syarat-syarat tertentu. Bagaimana? Yaitu dengan mengikuti program dana
pensiun. Bila ia seorang pegawai/karyawan, maka ia punya dua pilihan, yaitu
mengikuti DPPK atau mengikuti DPLK. Sedangkan bila ia bukan pegawai/karyawan,
maka hanya ada satu cara untuk mendapatkan dana pensiun, yaitu mengikuti DPLK.
Adapun program pensiun yang tersedia di Indonesia –sejauh
penelitian kami- hanya ada dua.
Bagi yang mengikuti DPPK, biasanya dana pensiun dipotongkan
dari gaji bulanan. Lalu dikelola oleh lembaga tertentu. Yang menjadi masalah
ialah cara pengelolaan dana tersebut? Apakah diinvestasikan untuk proyek-proyek
halal, atau untuk proyek yang tidak jelas, atau justru untuk yang haram,
seperti didepositokan di bank dan diserahkan kembali beserta bunganya (baca:
riba)?
Bila tidak ada kejelasan dalam hal ini, maka si
karyawan/pegawai hanya berhak mendapatkan tak lebih dari total potongan gajinya
selama ia bekerja di perusahaan tersebut. Adapun selebihnya adalah harta yang
tidak jelas statusnya. Misalnya: A bekerja di perusahaan B selama 25 tahun,
dengan gaji perbulan Rp 1,5 juta, dipotong Rp 100 ribu sebagai dana pensiun.
Dengan begitu, selama 25 tahun –jika tidak ada perubahan- maka A telah membayar
dana pensiun sebesar Rp 30 juta. Jadi, ia hanya berhak menerima dana pensiun
total tidak lebih dari Rp. 30 juta, baik diberikan secara berangsur maupun
sekaligus.
Alasannya, potongan gaji yang selama ini ia berikan kepada
pengelola dan pensiun –yang tidak jelas cara pengelolaannya- identik dengan
meminjamkan uang kepada si pengelola (qardh). Uang pensiunan yang dikembalikan
ke si pegawai statusnya adalah badal (pengganti) yang senilai dari potongan
gaji yang dahulu ia bayarkan, dan bukan benda yang sama. Ia tidak sama dengan
wadi’ah (menitipkan barang tertentu) yang kemudian barang itu dikembalikan lagi
dan tidak diganti dengan barang lain yang sejenis. Oleh karena itu, berlakukah
hukum qardh dalam uang pensiunan yang asalnya dari potongan gaji ini.
Pengelolaan dana pensiun juga tidak bisa dianggap sebagai
bentuk mudharabah, karena dalam mudharabah, pemodal memiliki hak penuh terhadap
seluruh modalnya. Ia bisa meminta kembali modalnya selama belum digunakan. Dan
ia harus siap kehilangan sebagian modal atau seluruhnya bila mudharabah tersebut
ternyata merugi, sebagaimana ia juga berpotensi mendapat keuntungan yang besar
bila mudharabah tersebut mendatangkan keuntungan. Artinya, dalam mudharabah
tidak ada jaminan modal kembali, namun kepemilikan modal tetap utuh di tangan
pemodal. Sedangkan dalam pengelolaan dana pensiun, dana yang disetorkan
otomatis keluar dari kepemilikan si penyetor. Ia tidak bisa diminta kembali
atau dicairkan kecuali setelah yang bersangkutan (penyetor) dianggap pensiun,
dengan syarat-syarat tertentu yang berlaku. Akan tetapi, di sisi lain, uang
yang disetorkan sifatnya terjamin (tidak akan hilang). Jadi, ia mirip dengna
meminjamkan uang secara berangsur namun kontinyu kepada seseorang, untuk
dikembalikan lagi dalam jumlah yang senilai setelah jangka waktu tertentu, baik
secara berangsur maupun sekaligus. Inilah yang dalam istilah fiqih dikenal
dengan nama qardh.
Dalam kaidah fiqih disebutkan:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
Setiap qardh (pinjaman uang) yang menarik manfaat tertentu,
maka manfaat tersebut tergolong riba.
Jadi, bila si pemberi pinjaman (dalam hal ini adalah
karyawan atau peserta DPPK) mendapatkan manfaat –apapun bentuknya, baik jasa
maupun benda- dari potongan gaji yang dibayarkannya, maka manfaat tersebut
adalah riba. Intinya, ia hanya berhak mendapat uang pensiunan senilai dengan
total potongan gaji yang dibayarkannya, tak lebih dari itu. Manfaat apa pun
yang ia dapatkan selain ituk, statusnya adalah riba.
Kecuali bila tambahan yang diberikan oleh si pengelola
sifatnya murni sebagai hadiah yang sukarela, maka tidak mengapa. Akan tetapi,
adakah pengelola yang seperti itu hari ini? Ini bila cara pengelolaan uang
tersebut tidak jelas. Namun bila ia jelas-jelas didepositokan atau ditabung di
bank oleh si pengelola, atau diinvestasikan pada proyek-proyek yang tidak
syar’i, maka jelaslah keuntungan yang didapat termasuk riba sekaligus harta
haram.
Adapun bila dana pensiun tadi diinvestasikan pada
proyek-proyek yang mubah/syar’i, lalu sebagian dari keuntungannya diberikan
kepada si peserta dana pensiun setelah ia pensiun, maka dalam hal ini harus
berlaku aturan mudharabah. Artinya, dana tersebut tidak boleh dijamin pasti
kembali, namun harus ada resiko yang ditanggung oleh si pemodal (yang dalam hal
ini adalah karyawan yang dipotong gajinya). Ia harus siap merugi (berkurang
modalnya) atau bahkan kehilangan modal, sebagaimana ia berpotensi mendapat
keuntungan pula dari modalnya. Dan kepemilikan modal tetap berada di tangannya
secara penuh. Masalahnya, adakah aturan-aturan seperti ini berlaku dalam pengelolaan
dana pensiun? Agaknya tidak demikian, sehingga kesimpulannya, bahwa dana
pensiun tersebut harus disikapi sebagai qardh, bukan sebagai mudharabah.
Menurut Bapepam, sumber dana pensiun berasal dari kekayaan
dan investasi. Kekayaan itu sendiri terdiri dari iuran normal (sumber utama
kekayaan dana pensiun) dan iuran tambahan.
Iuran normal ada dua jenis. Pertama, Iuran Normal Pemberi
Kerja, yang dibayarkan oleh pemberi kerja dan ditetapkan dengan perhitungan
aktuaris. Kedua, Iuran Normal Peserta, yang dibayarkan oleh peserta dan
ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun.
Kedua macam iruan ini berlaku untuk Program Pensiun Iuran
Pasti (PPIP). Dalam PPIP, besar kecilnya uang pensiun ditentukan oleh kumulasi
dari seluruh iuran pensiun ditambah dengan hasil investasinya. Iuran pensiun
bulanan bisa berasal hanya dari perusahaan saja, atau perusahaan dengan
karyawan, dengan besaran tertentu.
Untuk Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP), besarnya iuran
pensiun, khususnya iuran perusahaan ditetapkan dengan menggunakan perhitungan
aktuaria, yang dilakukan secara berkala minimal sekali dalam 3 tahun atau
sewaktu-waktu dilakukan perubahan peraturan yang berdampak pada kewajiban
pendanaan. Iuran perusahaan dibagi menjadi iuran normal dan iuran tambahan.
Yang dimaksud dengan iuran normal, adalah iuran yang menjadi kewajiban
perusahaan berdasarkan perhitungan aktuaris secara berkala. Sedangkan iuran tambahan,
adalah iuran yang menjadi beban perusahaan bilamana terjadi perubahan peraturan
yang berdampak pada pendanaan. Bila peserta juga ikut membayar iuran, besarnya
sudah ditetapkan dengan prosentase tertentu, sedangkan iuran perusahaan bisa
berubah-ubah, tergantung pada hasil dari perhitungan aktuaria; sebagaimana
telah disinggung tadi, kekayaan Dana Pensiun berasal dari iuran pensiun dan
hasil investasinya. Sedangkan investasinya terbatas pada bentuk-bentuk
tertentu, yang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 511/KMK. 06/2002
tentang Investasi Dana Pensiun sebagai berikut:
1. Deposito Berjangka pada Bank.
2. Deposito on call pada Bank.
3. Sertifikat Deposito pada Bank.
4. Saham yang tercatat di Bursa Efek.
5. Obligasi yang tercatat di Bursa Efek.
6. Penempatan langsung pada saham yang diterbitkan oleh
badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia.
7. Surat pengakuan utang yang diterbitkan oleh badan hukum
yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia.
8. Tanah di Indonesia.
9. Bangunan di Indonesia.
10. Tanah dan bangunan di Indonesia.
11. Unit penyertaan reksadana sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang tentang Pasar Modal.
12. Sertifikat Bank Indonesia; dan atau
13. Surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia.
Enam bentuk investasi (yang bergaris bawah) di antaranya
jelas-jelas haram, karena terkait langsung dengan sistem ribawi. Adapun lima
bentuk lainnya (diberi tanda tanya), tergolong syubhat (tidak jelas). Dari
sini, jelaslah bahwa dana pensiun yang diterima oleh pegawai/karyawan (baik
yang bulanan maupun yang sekaligus) adalah campuran antara harta halal dengan
harta haram/syubhat. Harta halal adalah yang berasal dari gabungan antara iuran
peserta dengan iuran pemberi kerja (perusahaan). Sedangkan harta syubhatnya
berasal dari investasi yang mencampuradukkan antara yang halal dengan yang
haram; dan harta haram lebih berpotensi karena bentuk investasi haramnya lebih
banyak.
Adapun bagi mereka yang mengikuti DPLK, yang menurut
undang-undang di Indonesia harus melibatkan pihak kedua (bank), maka statusnya
jelas haram. Karena semua bentuk asuransi komersial identik dengan qimar
(judi). Sebagaimana difatwakan oleh Majma’ al Fiqh al-Islami.[3]
Jadi, jelaslah bahwa mengikuti DPLK yang pasti melibatkan
lembaga asuransi [4], merupakan sesuatu yang diharamkan. Adapun status uang
pensiun yang diterima, maka sama seperti yang sebelumnya. Yaitu ia hanya berhak
mendapatkan dalam jumlah total yang sama besar dengan premi-premi yang telah
dibayarkannya. Ini bagi yang terlanjur mengikuti DPLK, adapun yang belum
terlanjur, maka secara syar’i ia tidak boleh masuk ke dalam sistem yang
diharamkan.
Bila seseorang telah menerima uang pensiunan yang setara
dengan total premi yang ia bayarkan, maka selebihnya harus ia belanjakan untuk
kegiatan sosial tanpa mengaharap pahala. Persis seperti menyikapi uang
riba/bunga bank. Ia tidak boleh memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi,
namun hendaklah disedekahkan kepada fakir miskin atau dipakai untuk pembiayaan
fasilitas umum.
KESIMPULAN
Status uang pensiunan ditentukan oleh beberapa faktor
berikut:
Pertama : Jenis pekerjaan yang dilakukan; bila pekerjaannya
halal, maka gajinya pun halal, sehingga uang pensiunan yang berasal dari
potongan gaji pada dasarnya halal. Sebaliknya, jika jenis pekerjaannya haram,
seperti pegawai bank misalnya; maka uang pensiunannya otomatis haram, karena ia
berasal dari gaji yang haram. Keharaman ini berlaku bagi yang mengetahui
harmnya bekerja di Bank. Misalnya, bila seseorang pernah menjadi pegawai Bank
selama 20 tahun, namun ia baru tahu keharaman kerja di Bank 10 tahun terakhir,
maka pensiun yang boleh diterima hanyalah yang terkumpul dari potongan gajinya
selama 10 tahun pertama saja. Demikian yang dinukil oleh Syaikh Muhammad Shalih
al-Munajjid dari guru beliau, Syaikh Bin Baz.[5]
Kedua : Jenis program pensiun yang diikuti. Bila mengikuti
PPIP, maka yang uang pensiun yang halal ialah yang berasal dari iuran peserta
dan iuran perusahaan saja, adapun selebihnya adalah uang haram karena merupakan
hasil investasi dengan cara-cara ribawi. Sedangkan bagi yang mengikuti PPMP,
maka yang halal ialah yang berasal dari iuran perusahaan dan iuran tambahan
(bila ada); demikian pula jika dalam prakteknya peserta dikenai iuran pula,
maka gabungan dari kedua atau ketiga iuran tadilah yang berhak ia terima.
Adapun selebihnya bersifat riba yang haram.
Ketiga : Pengelola dana pensiun itu sendiri. Bila di kelola
oleh DPLK, maka keharamannya jelas, karena menggunakan sistem asuransi. Namun
bila dikelola oleh DPPK, maka tak lepas dari syubhat dan perlu kejelian untuk
memilah antara yang halal dengan yang haram.
PENUTUP
Sebagai penutup, mungkin ada sebagian kalangan yang berbeda
pendapat dengan kami dalam menghukumi uang pensiun. Biasanya mereka berpijak
pada sejumlah fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah Da-imah atau beberapa ulama
secara perorangan. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa mereka berfatwa sesuai
dengan kondisi yang berlaku di negara masing-masing; atau sesuai dengan
informasi yang disampaikan oleh si penanya. Oleh karena itu, tidak seyogynya fatwa-fatwa
tadi diterapkan begitu saja pada negara lain yang sistemnya jauh berbeda dengan
tempat keluarnya fatwa, atau negara tempat si penanya. Bahkan ada di antara
para ulama yang sama sekali tidak mau menerima uang pensiun, seperti Syaikh
Abdurrazzaq ‘Afifi, yang notabene adalah salah seorang anggota Lajnah Da-imah
itu sendiri.
Adapun fatwa Lajnah Da'imah yang menganggap uang pensiun
sebagai sesuatu yang halal, karena merupakan bantuan/penghargaan pemerintah
kepada para pegawai yang telah mengabdi untuk kepentingan negara. Ini tentunya
tidak sama dengan sistem yang berlaku di Indonesia. Karena ternyata di negara
kita dana pensiun tidak 100% dari bantuan pemerintah, bahkan sebagiannya adalah
hasil investasi yang tidak jelas. Atau kalau ia peserta DPLK, berarti terjerat
dalam sistem asuransi komersial yang haram. Lagi pula, yang menjadi patokan
dalam hukum syar’i adalah hakikat sesuatu itu sendiri dan bukan namanya.
Biarpun sama-sama dinamakan uang pensiun, namun jika hakikatnya adalah asuransi
komersial (DPLK), maka hukumnya tetap haram.
CATATAN:
Bila si penerima uang pensiun tergolong fakir, maka –menurut
sejumlah ulama- ia boleh menggunakan uang tersebut bagi kepentingan pribadinya
sekadarnya (sebatas kebutuhannya), walaupun sebagian harta tadi berstatus
haram.
Dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (9/351) Imam
Nawawi menukil dari al-Ghazali sebagai berikut,”Jika ia memiliki harta haram
dan ingin bertaubat serta melepaskan diri darinya, maka jika ia mengetahui
pemilik uang tersebut secara pribadi, ia wajib menyerahkannya kepada
pemiliknya, atau kepada wakilnya. Jika si pemilik telah wafat, maka diserahkan
kepada ahli warisnya. Namun jika pemiliknya tidak diketahui dan tidak mungkin
dipasitkan orangnya, maka hendaklah harta tersebut dibelanjakan untuk kemaslahatan
kaum Muslimin secara umum, seperti pembangunan jembatan, masjid, kemaslahatan
jalan, dan semisalnya yang dipakai secara bersama oleh kaum muslimin. Kalau
tidak bisa seperti itu, maka boleh disedekahkan kepada orang fakir atau kaum
fuqara’... Jika ia menyedekahkannya kepada orang fakir, maka harta tersebut
tidak menjadi haram bagi si fakir, namun ia berstatus halal dan baik baginya.
Dia (pemegang harta haram tadi) juga boleh bersedekah kepada diri dan
keluarganya kalau memang dia juga fakir. Sebab bila keluarganya tergolong
fakir, maka sifat kefakiran ini terwujud pada mereka, bahkan mereka lebih
berhak disedekahi. Dia juga boleh mengambil sebagian harta tadi bagi dirinya
sekadarnya, sebab ia juga fakir.
Pendapat yang dinyatakan al-Ghazali dalam masalah ini, juga
dinyatakan oleh Ulama Syafi’iyyah lainnya, dan pendapat mereka memang benar.
Al-Ghazali juga menukil pendapat ini dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan para
Salaf lainnya, termasuk Ahmad bin Hambal, al-Harits al-Muhasibi, dan
orang-orang wara’ lainnya. Alasannya, karena uang haram tersebut tidak boleh
dihanguskan dan dibuang ke laut (atau sampah), sehingga tidak ada pilihan lain
kecuali dengan membelanjakannya untuk kemaslahatan kaum Muslimin.
Wallahu Ta’ala a’lam.[6]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun
XVII/1435H/2013M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat: www.bapepamlk.depkeu.go.id/dana_pensiun
[2]. Anuitas adalah suatu rangkaian penerimaan atau
pembayaran tetap yang dilakukan secara berkala pada jangka waktu tertentu.
[3]. Lihat terjemahan fatwa secara ringkas dalam rubrik
Fatawa Nawazil edisi ini.
[4]. Dalam brosur Biro Dana Pensiun, disebutkan ada 24 bank
dan perusahaan asuransi yang menangani DPLK. Semuanya adalah bank konvensional
(ribawi) dan asuransi komersial.
[5]. Diringkas dari pertanyaan no. 12.397 di situs (موقع الإسلام سؤال وجواب) dengan judul (مكافأة نهاية الخدمة لموظفي البنك)
[6]. Lihatموقغ الإسلام سؤال وجواب)
(fatwa no 167.645 dengan judul (حكم راتب التقاعد)
.
Sumber; Almanhaj.or.id
Sumber; Almanhaj.or.id
18.22
Unknown
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas
Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Ghanm al-Asy’ari, dia
berkata, “Abu ‘Amir atau Abu Malik al-Asy’ari Radhiyallâhu 'anhu telah
menceritakan kepadaku, demi Allâh, dia tidak berdusta kepadaku, dia telah
mendengar Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَـيَـكُوْنَـنَّ مِنْ أُمَّـتِـيْ أَقْوَامٌ
يَـسْتَحِلُّوْنَ الْـحِرَ ، وَالْـحَرِيْرَ ، وَالْـخَمْرَ ، وَالْـمَعَازِفَ. وَلَيَنْزِلَنَّ
أَقْوَامٌ إِلَـى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوْحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَـهُمْ ، يَأْتِيْهِمْ
–يَعْنِيْ الْفَقِيْرَ- لِـحَاجَةٍ فَيَـقُوْلُوْنَ : ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا ، فَـيُـبَـيِـّـتُـهُـمُ
اللهُ وَيَـضَعُ الْعَلَمَ وَيَـمْسَـخُ آخَرِيْنَ قِرَدَةً وَخَنَازِيْرَ إِلَـى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ
"Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan ummatku sekelompok
orang yang menghalalkan kemaluan (zina), sutera, khamr (minuman keras), dan
alat-alat musik. Dan beberapa kelompok orang sungguh akan singgah di lereng
sebuah gunung lalu seseorang penggembala -yaitu orang fakir- mendatangi mereka
dengan binatang ternak mereka, untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata,
‘Kembalilah kepada kami besok hari.’ Kemudian Allâh mendatangkan siksaan kepada
mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allâh mengubah sebagian dari
mereka menjadi kera dan babi sampai hari Kiamat."
TAKHRÎJ HADÎTS
Hadits ini diriwayatkan oleh:
1.Al-Bukhâri secara mu’allaq [1] dengan lafazh jazm (pasti)
dalam Shahîh-nya (no. 5590). Lihat Fathul Bâri (X/51),
2. Ibnu Hibbân (no. 6719-at-Ta’lîqâtul Hisân),
3. Al-Baihaqi dalam Sunannya (X/221),
4. Abu Dawud dalam Sunannya (no. 4039).
Hadits ini shahîh. Karena beberapa Imam ahli hadits
menghukumi hadits ini shahîh, di antaranya :
1. Dishahîhkan oleh al-Bukhâri, Ibnu Hibbân, al-Barqani[2]
dan Abu ‘Abdillah al-Hâkim[3]
2. Ibnush Shalâh rahimahullâh berkata, “Hadits ini
shahîh.”[4]
3. Ibnu Taimiyyah rahimahullâh berkata mengenai hadits ini,
“Apa yang diriwayatkan oleh al- Bukhâri adalah shahîh.”[5]
4. Dishahîhkan juga oleh al-Isma’ili[6] dan Abu Dzarr
al-Harawi.[7]
5. Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Hadits ini
shahîh.”[8]
6. An-Nawawi rahimahullâh berkata, “Hadits ini shahîh.”[9]
7. Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullâh mengatakan, “Hadits
ini adalah shahîh.”[10]
8. Ibnu Hajar rahimahullâh berkata, “Hadits ini shahîh,
tidak ada cacat dan celaan padanya.”[11]
9. Asy-Syaukani rahimahullâh berkata, “Hadits ini shahîh,
diketahui sanadnya yang bersambung berdasarkan syarat ash-Shahîh.”[12]
10. Dan ad-Dahlawi mengatakan, “(Sanadnya) bersambung dan
shahîh.”[13]
Untuk mengetahui penjelasan hadits-hadits yang berkaitan
dengan masalah musik dan nyanyian dapat dilihat dalam kitab Tahrîm Âlâtith
Tharb karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullâh dan risalah
Magister berjudul Ahâdîtsul Ma’âzîfi wal Ghinâ’ Dirâsatan Hadîtsiyyatan
Naqdiyyatan (hlm. 58), karya Dr. Muhammad ‘Abdul Karim ‘Abdurrahman.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullâh juga
membawakan nama-nama para Ulama ahli hadits yang menshahîhkan hadits ini dalam
Tahrîm Âlâtith Tharb (hlm. 89).
Ibnu Hazm rahimahullâh (wafat th. 456 H) dan Muhammad bin
Thahir al-Maqdisi rahimahullâh (wafat th. 507 H) mendha’îfk an hadits ini
karena menyangka ada cacat dalam hadits ini, yaitu sanadnya terputus antara
al-Bukhâri dan Hisyâm bin ‘Ammar dan juga Sahabat yang ada dalam hadits ini (yaitu
Abu ‘Amir atau Abu Malik) tidak dikenal. Padahal para Imam ahli hadits yang
lainnya telah menyatakan bahwa sanad hadits ini bersambung, di antara mereka
adalah Ibnu Hibbân rahimahullâh dalam Shahîhnya, ath-Thabrâni rahimahullâh
dalam al-Mu’jamul Kabîr, dan selain keduanya.
Selain itu, Hisyâm bin ‘Ammar termasuk guru Imam al-Bukhâri.
Adapun Sahabat Rasûlullâh Abu ‘Amir atau Abu Malik yang dikenal, maka kita
katakan bahwa seluruh Sahabat Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam adalah
adil, sebagaimana telah menjadi kesepakatan kaum Muslimin.
Pada saat membantah Muhammad al-Ghazâli (Mesir) yang taklid
kepada Ibnu Hazm dalam hal ini, Syaikh al-Albâni rahimahullâh mengatakan, “Dia
(al-Ghazali) tidak mengetahui bahwa Hisyâm bin ‘Ammar termasuk guru Imam al-Bukhâri.
Sehingga perkataan al-Bukhâri, “Telah berkata Hisyâm bin ‘Ammar.’’ bukanlah
ta’lîq (adanya pemisah antara al-Bukhâri dengan Hisyâm) bahkan sebenarnya
muttashil (bersambung) karena bagi Imam al-Bukhâri tidak ada beda antara
perkataannya, “Hisyâm telah berkata,” atau “Hisyâm telah mengabarkan
kepadaku.”[14]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Tidak ada upaya
yang dilakukan oleh orang-orang yang menganggap cacat hadits di atas -seperti
Ibnu Hazm- untuk mempertahankan pendapatnya yang batil tentang dibolehkannya
nyanyian dan musik. Dia menyangka hadits itu tidak sah, karena munqathi’
(terputus sanadnya) karena al-Bukhâri -katanya- tidak memiliki sanad yang
bersambung dalam hal hadits di atas!".
Untuk Menjawab Kekeliruan Ini:
1. Telah disepakati bahwa al-Bukhâri telah bertemu Hisyâm
bin ‘Ammar dan mendengar (hadits) darinya. Sehingga apabila al-Bukhâri berkata,
‘Hisyâm telah berkata,’ maka kedudukan perkataan itu sama dengan, ‘Dari
Hisyâm.’”
2. Jika al-Bukhâri tidak mendengar (langsung) hadits ini
dari Hisyâm, maka dia tidak akan membolehkan dirinya untuk memastikan bahwa
riwayat ini darinya, kecuali kalau telah shahîh bahwa Hisyâm (benar-benar)
telah meriwayatkan hadits ini. Hal ini (keberanian seorang rawi untuk
menyatakan bahwa seorang syaikh telah meriwayatkan sebuah hadits padahal dia
tidak mendengar langsung dari syaikh tersebut-pen) -biasanya- karena banyaknya
orang yang meriwayatkan hadits itu dari Syaikh tersebut dan karena masyhur
(terkenal)nya hal tersebut. Dan al-Bukhâri adalah hamba Allâh yang paling jauh
dari penipuan.
3. Bahwasanya al-Bukhâri telah memasukkan hadits tersebut
dalam kitabnya yang terkenal dengan ash-Shahîh, dengan berhujjah (berargumen)
dengannya, seandainya hadits itu bukan hadits shahîh, tentu beliau tidak akan
melakukan yang demikian.
4. Al-Bukhâri memberikan ta’lîq (lafazh yang menunjukkan
terputusnya sanad-pen) dalam hadits itu dengan ungkapan yang menunjukkan jazm
(kepastian), tidak dengan ungkapan yang menunjukkan tamrîdh (cacat). Dan
bahwasanya jika beliau bersikap tawaqquf (tidak berpendapat) dalam suatu hadits
atau hadits itu tidak atas dasar syaratnya maka beliau akan mengatakan,
‘Diriwayatkan dari Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam ,’ dan juga dengan
ungkapan, ‘Disebutkan dari beliau,’ atau dengan ungkapan yang sejenisnya.
Tetapi jika beliau berkata, ‘Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam
bersabda,’ maka berarti dia telah memastikan bahwa hadits itu disandarkan
kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam .
5. Seandainya kita mengatakan berbagai dalil di atas tidak
ada artinya, maka cukuplah bagi kita bahwa hadits tersebut shahîh dan mutt
ashil (bersambung sanadnya) menurut perawi hadits yang lain.”[15]
Berikut ini penjelasan para Ulama hadits tentang Hisyâm bin
’Ammar, di antaranya:
• Imam Yahya bin Ma’in rahimahullâh berkata, ”Tsiqah.”[16]
• Imam al-Bukhâri rahimahullâh mentsiqahkannya karena beliau
berhujjah dengannya di kitab Shahîhnya. Imam Ahmad al-’Ijli rahimahullâh
berkata, ”Hisyâm bin ’Ammar ad-Dimasyqi tsiqah shadûq (terpercaya, jujur).”[17]
• Imam an-Nasâi rahimahullâh berkata, ”Lâ ba’sa bihi (tidak
mengapa dengannya).”[18]
• Hisyâm bin ’Ammar rahimahullâh merupakan salah seorang
Ulama yang berpegang teguh dengan al-Qur’ân dan as-Sunnah. al- Hâfizh Ahmad bin
’Abdullah al-Khazraji rahimahullâh berkata, ”Hisyâm bin ’Ammar as- Sulami Abul
Walid ad-Dimasyqi al-Muqri al-Hafizh al-Khathiib. Meriwayatkan dari Mâlik,
al-Jarrah bin Malih, dan Yahya bin Hamzah dan banyak Ulama...”[19]
Beliau juga berkata dalam Siyar A’lâmin Nubalâ, ”Hisyâm bin
’Ammar...seorang Imam al-Hâfizh al-’Allâmah al-Muqri, Ulama penduduk Syam...
khathîb penduduk Dimasyqa (Damaskus).”[20]
Beliau juga berkata dalam kitab al-’Ibar fî Khabari man
Ghabar, ”Hisyâm bin ’Ammar...khathîb, qâri’, ahli fiqih, dan muhaddits penduduk
Dimasyqa... dua orang Syaikh (guru) dari para Syaikhnya telah meriwayatkan
darinya –karena dia memiliki kedudukan yang tinggi–.”[21]
Hadits ini secara jelas dan tegas mengharamkan al-ma’âzif
–yaitu alat-alat musik–, karena Nabi Shallallâhu 'alaihi wa sallam mengabarkan
bahwa akan ada suatu kaum diantara umatnya yang menganggap halal apa yang telah
diharamkan Allâh Ta'âla atas mereka berupa zina, sutra, khamr, dan alat-alat
musik.
KOSA KATA HADITS
اَلْحِرُ (berzina): yaitu
kemaluan, asalnya adalah حِرْحٌ, yang jamaknya adalah
أَحْرَاحٌ.[22]
اَلْمَعَازِفُ : Rebana dan
sejenisnya yang ditabuh, sebagaimana dalam an-Nihâyah. Dalam al-Qâmûs,
al-Ma’azif yaitu alat-alat musik seperti seruling dan mandolin. Bentuk
tunggalnya adalah عُزْفٌ atau مِعْزَفٌ, seperti kata مِنْبَرٌ dan مِكْنَسَةٌ. Al-‘Aazif adalah orang yang memainkan
alat musik dan juga penyanyi. Oleh sebab itu Ibnul Qayyim rahimahullâh dalam
Ighâtsatul Lahfân menyebutkan, “Artinya adalah alat-alat musik seluruhnya,
tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahli bahasa Arab dalam masalah
ini.”[23]
Ucapan itu lebih diperjelas lagi oleh adz-Dzahabi dalam
as-Siyar (XXI/158), “al-Ma’âzif adalah nama bagi semua alat musik yang
dimainkan seperti seruling, mandolin, clarinet, dan simbal.”[24]
SYARAH HADITS
Hadits ini merupakan hadits yang paling agung dan paling
jelas dalam pengharaman lagu dan musik. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni
rahimahullâh ketika menjelaskan hadits ini mengatakan, “Pelajaran yang dapat
diambil dari hadits tersebut adalah:
Pertama : Diharamkannya khamr (minuman keras).
Kedua : Diharamkannya alat musik. Riwayat al-Bukhâri
menunjukkan hal itu sebagaimana terlihat dari beberapa segi berikut:
1. Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam:
“Yastahillûna (Mereka menganggap halal)” Dari ungkapan ini, jelas sekali bahwa
semua yang disebutkan dalam hadits di atas, hukum asalnya adalah haram menurut
syariat. Dan di antara yang disebutkan dalam hadits tersebut adalah alat-alat
musik yang kemudian dihalalkan oleh sekelompok orang.
2. Haramnya musik diiringi dengan sesuatu yang sudah pasti
keharamannya, yaitu zina dan khamr. Kalaulah alat-alat musik itu tidak haram,
tentunya tidak akan diiringi dengan (penyebutan) zina dan khamr, insyâ Allâh.
Ada banyak hadits, yang sebagiannya shahîh, yang menerangkan
tentang haramnya berbagai alat musik yang terkenal ketika itu seperti gendang,
al-qanûn (sejenis alat musik yang menggunakan senar), dan lain-lain. Tidak ada
seorang pun yang menyalahi tentang haramnya musik atau yang mengkhususkannya.
Alat musik yang boleh hanyalah duff (rebana tanpa kerincingan) saja, dan itu
pun dibolehkan hanya pada waktu acara pernikahan dan ‘Ied (hari raya).
Dibolehkan dengan ketentuan yang rinci dalam kitab-kitab fiqih. Dan saya
(Syaikh al-Albani) telah sebutkan (rinciannya) dalam buku bantahan terhadap
Ibnu Hazm[25]
Oleh karena itu, empat Imam Madzhab telah sepakat tentang
haramnya semua jenis alat musik.
Ada di antara mereka yang mengecualikan gendang (drumb band)
untuk perang dan sebagian orang pada zaman ini membolehkan musik kemiliteran.
Namun pendapat ini tidak benar karena beberapa alasan berikut :
• Di antara hadits-hadits yang menjelaskan keharamannya itu,
tidak ada satu pun hadits yang mengkhususkan atau membolehkannya. Mereka yang
membolehkan hanya berdasarkan ra’yu (pendapat) semata dan menganggap baik hal
itu. Maka itu adalah batil.
• Kewajiban kaum Muslimin ketika mereka berperang, hendaklah
mereka menghadapkan hati mereka kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan memohon
agar Allâh Subhanahu wa Ta’ala menolong mereka untuk mengalahkan orangorang
kafir. Itu akan membawa kepada ketenangan jiwa dan mengikat hati mereka. Adapun
penggunaan alat-alat musik sudah pasti akan merusak dan akan memalingkan mereka
dari dzikrullâh (berdzikir kepada Allâh). Allâh Ta'âla berfirman yang artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu pasukan (musuh) maka
berteguh hatilah dan sebutlah (nama) Allâh banyakbanyak (berdzikir dan berdoa)
agar kamu beruntung. [al-Anfâl/8:45].
• Menggunakan alat-alat musik termasuk kebiasaan orang-orang
kafir. Allâh Ta'âla berfirman :
الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا
بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ
دِينَ الْحَقِّ
” ... orang-orang yang tidak beriman kepada Allâh dan hari
kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allâh dan
Rasul-Nya, dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allâh
)...” [at-Taubah/9:29]
Kaum Muslimin tidak boleh menyerupai mereka, lebih-lebih
menyerupai dalam halhal yang diharamkan Allâh Ta'âla kepada kita dengan
pengharaman yang umum, contohnya adalah musik.
Janganlah Anda tertipu dengan pendapat yang Anda dengar dari
orangorang sekarang yang dikenal sebagai seorang yang mengaku ahli fiqih yang
menghalalkan musik. Mereka –demi Allâh– berfatwa dengan taklid dan mereka lebih
membela hawa nafsu manusia. Mereka taklid kepada Ibnu Hazm rahimahullâh yang
keliru dalam masalah ini –mudah-mudahan Allâh mengampuni kita dan dia– karena
menganggap hadits Abu Mâlik tidak sah. Padahal hadits itu sudah jelas shahîh.
Mengapa mereka (orang-orang yang membolehkan nyanyian dan musik) tidak
mengikuti empat Imam Madzhab yang lebih paham, lebih ‘alim dalam agama, lebih
banyak pengikutnya, dan lebih kuat hujjah (dalil)nya?!
Ketiga: Bahwa Allâh Ta'âla akan menyiksa sebagian orang
fasiq dengan siksaan yang kongkrit di dunia, yaitu akan diubah bentuk mereka
–kemudian akal mereka– seperti binatang ternak.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullâh berkata dalam
Fat-hul Bâri (X/49) tentang hadits ini, “Ibnul ‘Arabi rahimahullâh mengatakan,
‘Perubahan bentuk bisa bermakna hakiki sebagaimana yang telah menimpa umat-umat
terdahulu, dan bisa juga bermakna kinâyah (kiasan) yaitu perubahan akhlak
mereka.’ Aku (Ibnu Hajar) menjawab, ’Yang benar adalah makna yang pertama
(yakni akan diubah bentuknya secara hakiki) karena itulah yang sesuai dengan
redaksi hadits.” Aku (Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullâh)
berpendapat bahwa tidak menutup kemungkinan untuk menggabungkan kedua pendapat
tersebut –sebagaimana telah kami sebutkan–. Bahkan (penggabungan) itulah yang
dapat dipahami langsung dari kedua hadits. Wallâhu a’lam.”[26]
PENJELASAN PARA SAHABAT TENTANG HARAMNYA LAGU DAN MUSIK
1. ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallâhu 'anhuma (wafat th. 73H)
Beliau Radhiyallâhu 'anhuma pernah melewati sekelompok orang yang sedang
melakukan ihrâm, dan di antara mereka ada seorang yang bernyanyi, maka beliau
Radhiyallâhu 'anhuma berkata, “Ingatlah, semoga Allâh tidak mendengarkan
(do’a-do’a-red) kamu.”[27]
2. ‘Abdullâh bin ‘Abbâs Radhiyallâhu 'anhuma (wafat th. 68
H). Beliau berkata, “Rebana haram, al-ma’âzif (alat-alat musik) haram, al-kûbah
(bedug atau gendang, dan yang sejenisnya) haram, dan seruling haram.”[28]
PENJELASAN DAN PENDAPAT PARA ULAMA SALAF TENTANG HARAMNYA
NYANYIAN DAN DAN MUSIK
1. Khalifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullâh (wafat th.
101 H).
Beliau rahimahullâh menulis surat kepada guru anaknya,
“Hendaklah yang pertama kali diyakini anak-anakku dari akhlakmu adalah membenci
alat-alat musik, sesuatu yang dimulai dari setan, dan akibatnya ialah
mendapatkan kemurkaan dari Allâh Yang Maha Pengasih. Karena sesungguhnya telah
sampai kepadaku dari para Ulama yang terpercaya bahwa menghadiri alat-alat
musik dan mendengarkan nyanyian-nyanyian serta menyukainya akan menumbuhkan
kemunafikan dalam hati, sebagaimana air menumbuhkan rerumputan. Demi Allâh,
sesungguhnya menjaga hal itu dengan tidak mendatangi tempat-tempat tersebut
lebih mudah bagi orang yang berakal daripada bercokolnya kemunafikan dalam
hati.”[29]
2. Imam al-Âjurri rahimahullâh (wafat th. 360 H).
Beliau mengharamkan nyanyian dan alat-alat musik dalam
kitabnya, Tahrîmun Nard wasy Syatranj wal Malâhî. Beliau rahimahullâh berkata,
“(Nyanyian itu) haram dilakukan dan haram mendengarkannya berdasarkan dalil
dari Kitabullâh, Sunnah-Sunnah Rasûlullâh, perkataan para Sahabat Radhiyallâhu
'anhum, dan perkataan mayoritas para Ulama kaum Muslimin...”[30]
3. Imam Abu Bakar bin Walid ath-Thurtusyi al-Fikri
rahimahullâh (wafat th. 520 H).
Beliau rahimahullâh adalah salah seorang Ulama pembesar
madzhab Maliki rahimahullâh. Dalam muqaddimah kitabnya, Tahrîmus Sama’, beliau
berkata, “…Kemudian bertambah banyak kebodohan, sedikit ilmu, dan perkara
saling kontradiksi sehingga di kalangan kaum Muslimin ada yang melakukan
maksiat dengan terang-terangan, kemudian semakin lama mereka bertambah jauh
hingga sampai kepada kami bahwa ada sekelompok saudara kami dari kaum Muslimin
—mudah-mudahan Allâh Ta'âla memberikan petunjuk kepada kami dan mereka— yang
telah digelincirkan oleh setan dan telah sesat cara berpikirnya. Mereka senang
kepada nyanyian dan permainan yang sia-sia. Mereka mendengarkan nyanyian dan
musik serta menganggap hal itu sebagai bagian dari agama yang dapat mendekatkan
diri kepada Allâh Ta'âla. Mereka telah menentang kaum Muslimin (para shahabat
dan tabi’in). Mereka telah menyimpang dari jalan kaum Mukminin, dan telah
menyalahi para fuqâhâ’ (para ahli fiqih) dan para Ulama pengemban risalah
agama.
Allâh Ta'âla berfirman :
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ
مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ
مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
'Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin,
Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan Kami akan
masukkan dia ke dalam Neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat
kembali.' [an- Nisâ’/4:115].”[31]
4. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh (wafat th. 728
H).
Beliau rahimahullâh mengatakan, “Empat Imam Madzhab
berpendapat bahwa semua alat musik adalah haram. Telah ada hadits Nabi shallallâhu
'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Ulama lainnya
bahwasanya Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam mengabarkan akan adanya
orang-orang dari ummatnya yang menghalalkan zina, sutra, minum khamr, dan
alat-alat musik serta mereka akan diubah menjadi kera dan babi. al-Ma’âzif
adalah alat-alat musik sebagaimana yang disebutkan oleh para pakar bahasa Arab,
bentuk jamak dari ma’zifah, yaitu alat yang dibunyikan. Dan tidak ada
perselisihan sedikit pun dari pengikut para imam (tentang haramnya alat
musik).”[32]
Beliau rahimahullâh mengatakan, “al-Ma’âzif (alat-alat
musik) adalah khamr bagi jiwa. Dia bereaksi dalam jiwa lebih hebat daripada
reaksi arak. Apabila mereka telah mabuk dengan nyanyian, mereka bisa terkena
kesyirikan, condong kepada perbuatan keji dan zhalim sehingga mereka pun
berbuat syirik, membunuh jiwa yang diharamkan Allâh Ta'âla dan berzina.”[33]
Beliau rahimahullâh juga mengatakan, “Adapun sama’
(mendengarkan) yang mencakup kemungkaran-kemungkaran agama, maka orang yang menganggapnya
sebagai amalan qurbah (pendekatan diri kepada Allâh Ta'âla), ia harus disuruh
bertaubat, bila mau bertaubat (maka diterima taubatnya), jika tidak bertaubat,
ia dibunuh. Apabila ia adalah orang yang mentakwil atau tidak tahu, maka dia
harus diberi penjelasan tentang kesalahan takwilnya itu, dan dijelaskan
kepadanya ilmu yang dapat menghilangkan kebodohannya. Dalam Shahîh al-Bukhâri
dan selainnya disebutkan bahwasanya Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam
menyebutkan orang-orang yang menganggap halal kemaluan (zina), sutra, khamr,
dan alat-alat musik dalam konteks celaan atas mereka dan bahwa Allâh akan
menghukum mereka. Maka hadits ini menunjukkan haramnya alat-alat musik. Menurut
pakar bahasa Arab, al-Ma-’âzif adalah alat-alat yang membuat lalai, dan nama
ini mencakup semua alat musik yang ada.”[34]
5. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullâh (wafat th. 751
H).
Beliau rahimahullâh mengatakan, “Diantara perangkap dan tipu
daya musuh Allâh Ta'âla, yang menyebabkan orang yang sedikit ilmu dan agamanya
terpedaya, serta menyebabkan hati orang-orang bodoh dan pelaku kebathilan
terperangkap adalah mendengarkan tepuk tangan, siulan, dan nyanyian dengan
alat-alat yang diharamkan, yang menghalangi hati dari al-Qur’ân dan
menjadikannya menikmati kefasikan dan kemaksiatan. Nyanyian adalah senandungnya
setan dan dinding pembatas yang tebal dari ar-Rahman. Ia adalah mantra
homoseksual dan zina. Dengannya orang fasik yang mabuk cinta mendapatkan puncak
harapan dari orang yang dicintainya. Dengan nyanyian ini, setan memperdaya
jiwa-jiwa yang bathil, ia menjadikan jiwa-jiwa itu – melalui tipu daya dan
makarnya– menganggap nyanyian itu baik. Lalu, ia juga meniupkan syubhat-syubhat
(argumen-argumen) bathil sehingga ia tetap menganggapnya baik dan menerima
bisikannya, dan karenanya ia menjauhi al-Qur’ân…”[35]
Satu hal yang sangat mengherankan yaitu sebagian orang
bernyanyi, berdansa, dan bergoyang dalam rangka beribadah –menurut sangkaan
mereka–, mereka meninggalkan al-Qur’ân, dan mendengarkan lagu-lagu setan?!
Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh juga berkata, “Meskipun
(majelis sama’/lagu dan musik) telah dihadiri oleh seratus wali (menurut kaum
shufi) akan tetapi telah diingkari oleh lebih dari seribu wali. Meskipun
dihadiri oleh Abu Bakar asy-Syibli, akan tetapi Abu Bakar ash-Shiddiq
Radhiyallâhu 'anhu tidak menghadirinya. Meskipun telah dihadiri oleh Yusuf bin
Husain ar-Razi, namun yang jelas tidak dihadiri oleh ‘Umar bin al-Khaththab
al-Fâruq Radhiyallâhu 'anhu yang dengannya Allâh Ta'âla memisahkan antara haq
dan batil. Meskipun dihadiri oleh an-Nûri namun pasti tidaklah dihadiri oleh
Dzun Nûrain ‘Utsmân bin ‘Aff ân Radhiyallâhu 'anhu. Meskipun dihadiri oleh Dzun
Nun al-Mishri namun tidaklah dihadiri oleh ‘Ali bin Abi Thâlib al-Hasyimi
Radhiyallâhu 'anhu … Meskipun dilakukan oleh mereka semua namun seluruh kaum
Muhajirin dan Anshar, yang ikut serta dalam Perang Badar, peserta Bai’atur
Ridhwan, dan segenap Sahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik tidak ada yang pernah melakukannya. Demikian pula seluruh ulama ahlu fiqih
dan fatwa, seluruh Ulama ahli hadits dan Ulama Ahlus Sunnah, seluruh ahli
tafsir dan imam-imam qira’ah, seluruh imam-imam jarh dan ta’dil yang membela
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dan agama beliau, tidak ada yang
melakukannya. Lalu siapakah lagi yang melakukannya?[36] Pihak manakah yang
berhak mendapatkan rasa aman ketika Allâh membangkitkan seluruh manusia lalu
semuanya dikumpulkan?”[37]
FAWÂ-ID HADITS
1. Dalam hadits ini ada tanda-tanda kenabian Nabi Muhammad
shallallâhu 'alaihi wa sallam. Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam mengabarkan
apa yang akan terjadi pada ummat Islam.
2. Haramnya zina.
3. Haramnya mengenakan pakain yang terbuat dari sutera bagi
laki-laki. Karena ada hadits shahîh yang menjelaskan tentang halalnya sutera
dan emas bagi wanita. Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda :أُحِلَّ الذَّهَبُ وَالْحَرِيْرُ لِإِنَاثِ أُمَّتِيْ
وَحُرِّمَ عَلَى ذُكُوْرِهَا Dihalalkan emas dan sutera bagi para
wanita umatku dan diharamkan bagi laki-laki[38]
4. Haramnya khamr (minuman keras).
5. Haramnya lagu dan musik.
6. Semua jenis alat musik adalah haram kecuali duff (rebana)
untuk acara pernikahan dengan beberapa ketentuan syari’at.
7. Nabi Shallallâhu 'alaihi wa sallam menjelaskan nanti akan
ada orang Islam yang menghalalkan sutera, musik, zina dan khamr. Apa yang
beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam sabdakan terbukti seperti yang kita lihat
sekarang ini, sebagian ustadz, kyai, dan Ulama menghalalkan musik dan lagu,
bahkan ikut
berjoget dan menyanyi.
Allâh ul Musta’ân wa ’Alaihi Tuklân walâ hawla walâ quwwata
illâ billâh.
MARÂJI
1. Al-Qur-an dan terjemahnya.
2. Kutubus Sittah dan Musnad Imam Ahmad.
3. Sunan al-Baihaqi.
4. Majmû’ Fatâwâ Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
5. Ighâtsatul Lahafân, Imam Ibnul Qayyim. Tahqiq: Syaikh Ali
Hasan.
6. Al-Istiqâmah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
7. Tahrîmun Nard wasy Syatranj wal Malaah, Abu Bakar bin
Husain al-Aajurri.
8. Tahdzîbus Sunan, Imam Ibnul Qayyim.
9. Talbîs Iblîs, Ibnul Jauzi, cet. Daarul Kutub ’Ilmiyyah.
10. Majmû’ Rasâ-il al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali.
11. Siyar A’lâmin Nubalâ’, Imam adz-Dzahabi.
12. Mawâridul Amân, ringkasan Ighâtsatul Lahafân, Syaikh Ali
Hasan.
13. Al-Muntaqan Nafîs, ringkasan Talbîs Iblîs, Syaikh Ali
Hasan.
14. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani.
15. Nailul Authâr, Imam Asy-Syaukani. Tahqiq dan takhrij:
Muhammad Subhi Hasan Hallâq.
16. Tahrîm Âlâtith Tharb, Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albani.
17. Ahâdîts al-Ma’âzif wal Ghinâ’ Dirâsatan Hadîtsiyyatan
Naqdiyyatan, Muhammad ’Abdul Karim Abdurrahman.
18. Ar-Rîhul Qâshif ’al â Ahlil Ghinâ’ wal Ma’âzif, Dziyab
bin Sa’ad Aalu Hamdan al-Ghamidi.
19. Fat-hu Dzil Jalâli wal Ikrâm Syarh Bulûghil Marâm,
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin.
20. Dan kitab-kitab lainnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun
XVI/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Maksudnya, dengan lafazh yang menunjukkan bahwa
sanadnya terputus antara al-Bukhâri dengan rawi setelahnya, yaitu Hisyâm bin
‘Ammar. Akan tetapi pada hakikatnya tidak terputus, seperti yang akan
dijelaskan nanti.
[2]. Dalam Shahîhnya. Lihat Nashbur Râyah (IV/231).
[3]. Lihat Shiyânatu Shahîh Muslim minal Ikhlâl wal Ghalath
wa Himâyatuhu minal Isqâth was Saqath (hlm. 84).
[4]. Muqaddimah Ibnu Shalâh fî ‘Ulûmil Hadîts (hlm. 32).
[5]. Al-Istiqâmah (I/294).
[6]. Dalam Shahîhnya. Lihat Tahdzîbus Sunan (IV/1801-1803),
karya Ibnul Qayyim, tahqiq: DR. Isma’il bin Ghazi Marhaba, cet. Maktabah
al-Ma’arif.
[7]. Dalam Shahîhnya. Lihat Fat-hul Bâri (X/52).
[8]. Ighâtsatul Lahfân (I/464), tahqiq: Syaikh Ali Hasan.
[9]. Irsyâdu Thullâbul Haqâ-iq (I/196), tahqîq Syaikh ‘Abdul
Bâri Fat-hullah.
[10]. Majmû’ Rasâ-il al-Hâfizh Ibni Rajab al-Hanbali
(Nuzhatul Asmâ’ (II/449).
[11]. Taghlîqut Ta’lîq (V/22).
[12]. Nailul Authâr (XIV/510), takhrij dan ta’liq: Subhi
Hasan Hallâq.
[13]. al-Inshâf (hlm. 62). Dinukil dari Ahâdîtsul Ma’âzif
wal Ghinâ Dirâsatan Hadîtsiyyatan Naqdiyyatan (hlm. 57-58).
[14]. Tahrîm Âlâtith Tharb (hlm. 28).
[15]. Lihat Ighâtsatul Lahfân (I/465-466), Mawâridul Amân
(hlm. 329) dan Tahdzîbus Sunan (IV/1801-1803). Untuk mengetahui lebih lengkap
jalan-jalan periwayatan hadits ini, lihat Tahrîm Âlâtith Tharb (hlm. 40-41 dan
80-91) dan Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 91).
[16]. Tahdzîbul Kamâl (XXX/247).
[17]. At-Tsiqât (IX/233) dan Siyar A’lâmin Nubalâ’ (XI/424).
[18]. Tahdzîbul Kamâl (XXX/248) dan Siyar A’lâmin Nubalâ’
(XI/424).
[19]. Khulâshah Tahdzîbu Tahdzîbil Kamâl fî Asmâ-ir Rij âl
(hlm. 410).
[20]. Siyar A’lâmin Nubalâ’ (XI/420).
[21]. al-’Ibar fî Khabari man Ghabar (I/351).
[22]. Tahrîm Âlâtith Tharb, hlm. 76.
[23]. Ighâtsatul Lahfân (I/466).
[24]. Tahrîm Âlâtith Tharb, hlm. 79.
[25]. Yaitu kitab Tahrîm Âlâtith Tharb.—Pen.
[26]. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (I/188-194).
[27]. Lihat Dzammul Malâhi (no. 17), Talbîs Iblîs (hlm.
240), dan al- Muntaqan Nafîs min Talbîs Iblîs (hlm. 306).
[28]. Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam
Sunannya (X/222). Lihat Tahrîm Âlâtith Tharb (hlm. 92).
[29]. Dzammul Malâhi (no. 21), Talbîs Iblîs (hlm. 241), dan
al- Muntaqan Nafîs (hlm. 306). Lihat Tahrîm Âlâtith Tharb (hlm. 120).
[30]. Tahrîmun Nard wasy Syatranj wal Malâhi (hlm. 39)
tahqiq ‘Umar Gharamah al-Amrawi, cet. I th. 1400 H.
[31]. Ighâtsatul Lahfân (I/411) dan Mawâridul Amân (hlm.
298-299).
[32]. Majmû’ Fatâwâ (XI/576).
[33]. Majmû’ Fatâwâ (X/417).
[34]. Majmû’ Fatâwâ (XI/535).
[35]. Ighâtsatul Lahfân (I/408) dan Mawâridul Amân (hlm.
295).
[36]. Kalau generasi terbaik tidak pernah mendengarkan musik
dan lagu, maka tidak ada yang melakukannya kecuali orang-orang fasik. Kenapa
kalian berpaling dari generasi terbaik?!-Pen
[37]. Kasyful Ghithâ’ ’an Hukmi Samâ’il Ghinâ’ (hlm. 79-80),
cet. 1-Daarul Jiil, th. 1412 H atau al-Kalâm ’ala Mas-alatis Samâ’ (hlm. 44),
karya Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, tahqiq: Muhammad ’Uzair Syams, cet. 1-Dâr
’Alamil Fawâ-id, th. 1432 H.
[38]. Shahih: HR. Ahmad (IV/394, 407), An-Nasa-i (VIII/161),
at- Tirmidzi (no. 1720), dan lainnya. At-Tirmidzi berkata: Hadits Abu Musa
Hadits Hasan Shahih. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwâ-ul Ghalîl
(no. 277).
Sumber : http://almanhaj.or.id/content/3596/slash/0/haramnya-musik/
18.18
Unknown
Oleh
Ustadz Mu'tashim
Salah satu kebutuhan pokok yang harus ada dalam setiap
tatanan kehidupan manusia, dari kehidupan yang terkecil sampai yang terbesar
adalah adanya peraturan dengan segala konsekuensinya yang dijadikan sebagai
pijakan bagi semuanya. Karenanya, di setiap lini kehidupan pasti ada peraturan
atau undang-undang yang berlaku, baik tertuang ataupun tidak, tertulis ataupun
tidak.
Begitu pula dengan agama ini yang berfungsi sebagai
rambu-rambu bagi seluruh manusia, yang telah Allah Azza wa Jalla pilihkan untuk
makhluk-Nya. Allah Azza wa Jalla adalah Dzat yang Maha Adil, Maha Mengetahui
dan Maha Penyayang kepada para makhluk-Nya. Apa saja yang telah diatur dan
dipilihkan-Nya buat manusia, tidak mungkin akan menyengsarakan mereka.
Di antara peraturan yang telah ditegaskan Allah Azza wa
Jalla demi kemaslahatan seluruh manusia adalah peraturan tentang hal pencurian,
yang berupa sangsi tegas dengan hukuman potong tangan bagi para pelakunya.
Allah Azza wa Jalla menegaskan:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا
أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
فَمَن تَابَ مِن بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ ۗ إِنَّ
اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka
barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan
kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [al-Mâidah/5:38-39]
Dan apa yang telah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
lakukan kepada seseorang yang tertangkap basah ketika mencuri. ‘Abdullâh Ibnu
Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata:
أََنَّرَسُوْلَ اللَّهِ صّلى اللّهُ عَلَيْهِ
وَ سَلَمَ قَطَعَ سَا رِقًا فِي مِجَنٍّ قِيْمَتُهُ ثَلاَثَةُ دَرَاهِمَ
Bahwa Rasûlullâh memotong tangan seseorang yang mencuri
tameng/perisai, yang nilainya sebesar tiga dirham [Muttafaqun ‘Alaihi]
Ibnu Mundzir rahimahullah dalam hal ini berkata,”Para Ulama
sepakat bahwa hukum potong tangan bagi pencuri dilakukan bila ada dua orang
saksi yang adil, beragama Islam dan merdeka.” [1]
‘Abdurrahmân al-Jazirî berkata, “Hukum had atas pencurian
telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan Sunnah serta kesepakatan para ulama. Allah
Azza wa Jalla telah menyebutkan hukumannya dalam ayat-Nya yang mulia. Dia Azza
wa Jalla telah memerintahkan potong tangan atas pencuri baik laki-laki atau
perempuan, budak atau merdeka, Muslim atau non Muslim guna melindungi dan
menjaga harta. Hukum potong tangan ini telah diberlakukan pada zaman jahiliyah
sebelum Islam. Setelah Islam datang, Allah Azza wa Jalla menetapkannya dan
menambahnya dengan persyaratan yang telah diketahui.” [2]
KEJAMKAH HUKUM POTONG TANGAN ITU?
Tudingan bahwa agama Islam kejam, melanggar hak asasi
manusia, terbelakang dan sangat primitive dalam penerapan hukuman, sudah lama
dihembuskan oleh orang-orang yang dungu dan tidak mau berfikir jauh ke depan.
Yaitu berupa emosi sesaat dan hanya memperhatikan kepentingan kelompok kecil
yang bersalah dan yang berhak atas hukuman tersebut serta menutup mata dan
telinga mereka terhadap masa depan masyarakat banyak dan orang-orang yang telah
dirugikan dari pencurian ini.
Perlu di ingat, bahwa harta sangat berharga bagi manusia.
Sehingga, dalam hal ini perhatian Islam kepada harta sangatlah besar, begitu
pula perintah untuk menjaganya. Rasulullah n menyandingkan keharamannya dengan
permasalahan nyawa.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَ الَكُمْ وَأَعْرَا
ضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامُ، كَحُرْ مَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِيْ بَلَدِ كُمْ هَذَا،
فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَأ
Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian diharamkan
atas kalian, sebagaimana diharamkannya hari kalian pada saat ini, di tempat
ini, dan di bulan ini [HR. Bukhâri] [3]
Pernahkah mereka berpikir, bagaimanakah perasaan orang-orang
yang kehilangan harta mereka? Terlebih bila harta yang terambil adalah harta
yang telah dikumpulkan selama bertahun-tahun, kemudian disimpan ditempat yang
dianggap aman, ternyata hilang begitu cepat. Berpikirkah mereka, bagaimana
dahsyatnya efek jera yang akan memberi keamanan bagi masyarakat luas
setelahnya, dari hukuman potong tangan yang mereka anggap sebagai pelanggar
norma kehidupan mereka? Hak asasi siapakah yang mereka perjuangkan?
Dalam kasus pencurian ini, syariat Islam berusaha menjaga
kepentingan orang banyak daripada menjaga kepentingan si pencuri. Memberi
hukuman yang berat berupa memotong tangan bertujuan membasmi sesuatu yang
menjadikan kecemasan manusia pada harta mereka. Sehingga Allah Azza wa Jalla
menjadikannya sebagai cambuk untuk mendapatkan maslahat yang lebih besar
dibandingkan dengan kepentingan si pencuri yang hanya sesaat dan banyak
menimbulkan kerusakan. Ini adalah hukuman yang setimpal yang penuh faedah dan
hikmah. Bila seseorang mau berpikir, hukuman setimpal bukan berarti menzhalimi
si pelaku, tetapi ini merupakan keadilan dalam peraturan Allah Azza wa Jalla
yang pasti baik bagi makhluk-Nya karena hanya Dia-lah yang Maha Mengetahui
segala sesuatunya. Bila hukuman ini dibiarkan diatur oleh seorang mujtahid atau
seorang hakim atau kelompok tertentu, pasti akan menyebabkan saling
bertentangan. Dan hasilnya tidak dapat dipastikan akan dapat mewujudkan suatu
keadilan yang dapat dirasakan oleh manusia, sehingga merasa tenang dari
kezhaliman dan kekerasan orang lain. [4]
SETIMPALKAH HUKUMAN POTONG TANGAN DENGAN BARANG YANG DICURI?
Ibnu Jauzi rahimahullah dan Abdul Wahhâb al-Maliki rahimahullah,
mengomentari beratnya hukuman yang diberlakukan dalam had pencurian, bila
dibandingkan antara harta yang tidak seberapa dengan hukuman potong tangan yang
harganya bisa jadi berlipat-lipat, mereka mengatakan, “Ketika tangan tersebut
dapat dijaga maka ia adalah sesuatu yang berharga, namun bila ia berkhianat
maka itu akan menjadi murah”.[5]
PERAMPASAN BARANG APAKAH BERLAKU HUKUMAN POTONG TANGAN?
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata ,”Penerapan hukum potong
tangan bagi pencuri senilai tiga dirham dan tidak diterapkannya kepada pelaku
pencopetan, perampasan dan pemaksaan merupakan kesempurnaan hikmah syariat.
Juga karena seorang pencuri sulit untuk dicegah karena ia masuk rumah orang
lain secara sembunyisembunyi, merusak tempat penyimpanan dan kunci. Dan tidak
memungkinkan pemilik barang melakukan penyimpanan lebih dari itu. Kalau
seandainya potong tangan tidak disyariatkan, maka akan terjadi saling mencuri
antar manusia, kerusakan akan membesar, semakin berbahaya. Berbeda dengan
pelaku pencopetan dan perampasan, karena dia mengambil secara terangterangan
dengan penglihatan manusia, yang memungkinkan mereka dapat mengambilnya kembali
dari kedua tangannya dan mengembalikan hak orang yang dizhalimi atau bersaksi
di hadapan hakim.[6]
Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Muslim bahwa
Qâdhi Iyâd rahimahullah berkata:”Allah Azza wa Jalla menjaga harta dengan
mewajibkan potong tangan bagi pencuri, dan tidak memberlakukannya pada selain
pencurian seperti penjambretan, pemalakan, atau pemaksaan karena perbuatan-perbuatan
tersebut lebih sedikit/ringan daripada pencurian. Dan juga korbannya
dimungkinkan bisa mengambil kembali dengan meminta tolong kepada penguasa serta
lebih mudah untuk ditegakkan bukti atasnya dibandingkan dengan kasus pencurian,
karena jarang sekali ada bukti. Maka, pencurian itu dianggap merupakan perkara
yang besar dan hukumannya lebih berat untuk lebih membuat jera.
DI ANTARA FAEDAH HUKUMAN POTONG TANGAN
Bila hukuman ini dilaksanakan, maka akan menghasilkan empat
hal:
1. Keimanan terhadap Islam, baik dalam akidah, syariah atau
manhaj.
2. Terwujudnya syariat Allah Azza wa Jalla pada seluruh
hukumhukumnya, baik secara politik, ekonomi maupun sosial.
3. Membuktikan faedah yang dihasilkan dari hokum hudûd
kepada akal dan kehidupan nyata.
4. Semangat untuk mewujudkan kemaslahatan bagi orang banyak
daripada kebaikan perorangan.[7]
SEBAB DAN SYARAT HUKUM POTONG TANGAN
Yang menjadi sebab dapat dijatuhkan hokum potong tangan
kepada seseorang adalah karena pencurian. Sebagaimana di firmankan oleh Allah
Azza wa Jalla yang artinya , “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana” [al-Mâidah/5:38]
Pencurian yang dimaksud di sini adalah pengambilan harta
dari pemiliknya, atau wakilnya dengan cara sembunyi sembunyi.
Harta yang dimaksud di atas tidak termasuk harta yang
ditiadakan oleh syariat. Walaupun secara bahasa dianggap sebagai harta. Seperti
arak, anjing, dll. Sehingga apabila seseorang mencuri anjing maka tidak akan
dikenakan hukum potong tangan. Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan, “….dan
mereka telah sepakat bahwa seorang Muslim bila ia mencuri khamer dari
saudaranya maka ia tidak dipotong (tangannya)…..”[8]
Dari pengertian di atas dapat dipahami pula bahwa kalimat
“pemiliknya atau wakilnya” tidak memasukkan pencurian selain harta yang bukan
miliknya, seperti harta yang masih menjadi milik orang lain dari hasil merampas
, korupsi, dll. Apabila ada orang yang mencurinya maka tidak sampai kepada
hukum potong tangan.
Apakah ini berarti diperbolehkan mencuri dari seorang yang
zhalim atau orang yang telah melakukan perampasan? Dalam hal ini ada dua
keadaan, bila niatnya adalah untuk mengembalikan barang tersebut kepada
pemiliknya, maka tidak mengapa. Namun bila untuk kepentingan pribadi atau
keluarganya sendiri, maka jelas tidak diperbolehkan.[9]
SYARAT DILAKSANAKANNYA HUKUMAN PENCURIAN
Hukum potong tangan bukanlah hukuman yang asal dilakukan
tanpa ada kriteria tertentu. Namun ia adalah hukuman yang adil, yang harus
dipenuhi kriterianya, sehingga pelakunya benar-benar berhak untuk dipotong
tangannya supaya menghasilkan efek jera baginya dan bagi orang lain, tanpa
mengabaikan hak si pelakunya.
Syarat yang harus dipenuhi dari pelaku pencurian itu
sendiri, antara lain:
• Ia seorang yang mukallaf, berniat untuk mencuri, tidak
terpaksa dalam mencuri, tidak didapati adanya hubungan antara pencuri dengan
yang dicuri dan tidak ada syubhat dalam melakukan pencurian. Yang dimaksud
dengan mukallaf adalah seorang yang baligh dan berakal.
• Tidak terpaksa, bukan seorang yang dipaksa oleh orang lain
untuk melaksanakan pencurian, dengan ancaman yang membahayakan nyawanya.
• Tidak didapati adanya hubungan kekerabatan, di sini
pengertiannya adalah harta yang dicuri bukan harta anaknya sendiri. Karena
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “ Kamu dan harta kamu adalah
milik bapak kamu”, atau harta bapak atau orang tuanya sendiri (menurut pendapat
mayoritas para ulama). Karena anaknya adalah bagian dari orang yang akan
mewarisi hartanya dan ia masih bertanggung jawab untuk memberikan nafkah
kepadanya, atau dari harta suaminya atau istrinya. Adapun hubungan
keluarga/kekerabatan yang lainnya maka tidak ada pengaruhnya .
• Tidak ada syubhat dalam melakukan pencurian. Maksudnya
adalah tidak dalam kondisi terpaksa dalam melakukannya, misalnya ia lapar,
sangat membutuhkan harta, dan sebagainya. Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata,”Ini adalah syubhat yang kuat yang dapat memalingkan hukum had karena
ia sangat membutuhkannya. Ini adalah (alasan) yang lebih kuat dibandingkan
dengan syubhat yang disebutkan oleh banyak para ulama…)[10]
Di antara syarat yang harus dipenuhi dalam kriteria
pencurian hukuman potong tangan, yang berkaitan dengan barang yang dicuri
antara lain:
1. Pencurian dilakukan dari tempat /penyimpanan yang
terjaga. Ibnu Mundzir rahimahullah berkata,”Mereka sepakat bahwa potong tangan
diberlakukan kepada orang yang mencuri dari tempat penyimpanan.”Yang dimaksud
tempat penyimpanan/yang terjaga di sini adalah tempat penunjang yang dapat
menjaga harta yang dimaksudkan dengan aman; misalnya rumah yang terkunci,
lemari, atau toko yang ditutup dan semisalnya.
Pengarang Ar-Raudhah Nâdiyah (2/277) berkata:
“Al-hirzu/tempat simpanan adalah yang dianggap masyarakat sebagai tempat
penyimpanan harta tersebut, seperti lumbung untuk menyimpan gabah, kandang
untuk menyimpan binatang dan keranjang untuk menyimpan buah-buahan.”
Tempat ini berbeda antara daerah/negara satu dengan yang
lainnya; disesuaikan dengan bentuk barang, tempat yang biasa digunakan untuk
penyimpanan. Bila pencurian yang dilakukan bukan pada tempat yang terjaga,
seperti uang yang ditaruh di depan pintu rumah, maka pelakunya tidak sampai
terkena hukuman potong tangan.[11]
2. Harta yang dicuri adalah harta yang terhormat, punya
pemiliknya atau wakilnya.
3. Barang yang dicuri mencapai nishâbnya ketika diambil dari
tempatnya.
Yang dimaksudkan nishâb di sini adalah adalah nishâb/batasan
minimal dalam masalah pencurian,, yaitu tiga dirham atau seperempat dinar atau
yang senilai dengan salah satu dari keduanya. Sebagaimana yang disebutkan dalam
hadist ‘Aisyahx, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tidak
dipotong tangan (pencuri) terkecuali pada seperempat dinar atau lebih”
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghukum
potong tangan terhadap pencurian perisai yang senilai tiga dirham [HR.
Muslim:1687), Tirmidzi (1446)]
Bila dinilai dengan uang rupiah maka bisa dilihat dengan
harga emas yang sekarang berlaku. Syaikh Utsaimîn berkata:”Jumlah seperempat
dinar yang dimaksudkan pada zaman sekarang, sedikit sekali, yakni dinar sebesar
mitsqâl–dinar Islam-, kemudian ia menanyakan orang pemilik emas, berapa ukuran
mitsqâl/berat dari emas? Sedikit sekali yakni sekitar dua puluh riyal. (satu
riyal sekitar dua ribu sampai tiga ribu rupiah). Lihat Liqâ‘ Maftûh (28/201).
4. Terbuktinya pencurian oleh si pelaku. Baik dengan cara
bukti dua orang saksi yang menyatakan bahwa pelakulah yang mengambil atau
dengan cara pengakuan dari si pelaku. Dalam masalah saksi tidak diperbolehkan
adanya saksi wanita, walaupun bersaksi terhadap dua orang wanita atau lebih
dengan seorang laki laki. Karena dalam masalah hukum hudûd , saksi wanita tidak
di gunakan.[12]
SIAPAKAH YANG MELAKSANAKAN HUKUMAN INI?
Yang melaksanakannya adalah penguasa/ pemerintah atau orang
yang ditugasi untuk menjalankannya.
APAKAH TANGANNYA YANG TELAH TERPOTONG DIGANTUNGKAN?
Imam Syafi‘i rahimahullah dan Ahmad rahimahullah berpendapat
bolehnya dalam hal ini, bila dimaksudkan untuk membuat jera, berdasarkan
riwayat dari at-Tirmidzi bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
didatangkan kepadanya seorang pencuri yang telah terpotong tangannya, kemudian
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengalungkannya di
lehernya.[13]
BAGAIMANA CARA PELAKSANAAN HUKUMAN POTONG TANGAN?
Dinukil oleh Syaikh Abdul Adzîm Badawi, dari penulis kitab
Ar-Raudhatun Nâdiyah: para Ulama sepakat; seorang pencuri pada pencurian yang
pertama dipotong tangan sebelah kanannya. Bila ia mencuri kedua kalinya, maka
dipotong kaki kirinya. Kemudian mereka berbeda pendapat bila ia mencuri untuk
ketiga kalinya; setelah dipotong tangan kanan dan kaki kirinya, mayoritas
mereka berpendapat dipotong tangan kirinya. Dan bila ia mencuri lagi setelahnya
maka dipotong kaki kanannya. Kemudian bila mencuri lagi, maka ia dihukum ta‘zîr
dan dikurung.[14]
TERHINDARNYA PENCURI DARI POTONG TANGAN
Seorang pencuri yang dimaafkan oleh orang yang dicurinya dan
belum sampai diangkat perkara/diajukan ke hakim, maka hal ini dapat
menghindarkan si pencuri dari hukuman potong tangan.[15]
Akhirnya, apa yang dibutuhkan manusia adalah apa yang telah
ditetapkan oleh Dzat yang telah menciptakan mereka. Karena tidak ada hukum yang
lebih baik dari hukum-Nya. Dan dalam melaksanakan konsekuensi ini, seorang
seharusnya tidak hanya mengedepankan pikiran pendeknya dan perasaan yang bukan
pada tempatnya. Tetapi lebih mengedepankan kepastian hasil yang akan didapat
bila benar-benar dijalankan sesuai dengan prosedur dan tata cara yang diatur
dalam agama ini. Allah Azza wa Jalla berfirman: “Boleh jadi kamu membenci
sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai
sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.” [al-Baqarah/2/216]
Wallâhu a‘lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun
XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Kitab Al-Ijmâ‘ : 261/140, Lihat kitab Al-Wajîz hal. 443
[2]. Kitab Al-Fiqih ‘Alal Madzâhibil Arba‘ah , Abdurrahmân
al-Jazirî, : 5/153
[3]. lihat Majalah Al-Buhûs Al-Islâmiyah:22/317
[4]. Lihat Majalah Jâmi‘ah Islâmiah:4/484
[5]. Ahmad al-Hasary, Al-Hudûd Wal Asyribah Fil Fiqh Islâmi :
374 – 375, Tafsîr Ibnu Katsîr:3/110
[6]. I‘lâmul Muwaqqi‘în hal 44
[7].Al-Fiqh Islâmi Wa Adillatuhu:219-222
[8]. lihat kitab Al-Wajîz hal 443
[9]. Al-Jâmi‘li Ahkâm Fiqhis Sunnah, Syaikh Muhammad bin
Shâlih al-Utsaimînt:4/205
[10]. lihat Al-Mausû‘atul Fiqhiyyatul
Kuwaitiyyah:2/8608-8609
[11]. Lihat kitab Al-Wajîz hal. 443
[12] Al-Jâmi‘ Li Ahkâm Fiqhis Sunnah, Syaikh Muhammad Bin
Shâlih al-Utsaimîn:4/206-210
[13]. Lihat Asna‘al Mathâlib : 4/153, Al-Mughni :10/266
[14]. lihat kitab Al-Wajîz hal 444
[15]. Lihat Al-Wajîz hal 444
Sumber; http://almanhaj.or.id/content/3132/slash/0/syariat-hukum-potong-tangan/
Selasa, 01 April 2014
02.26
Unknown
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon
pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan
diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri
petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah
sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi
dengan benar kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi
bahwasanya Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan
Rasul-Nya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا
وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada
Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali
dalam keadaan muslim.[Ali ‘Imran: 102]
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن
نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ
مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ
الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ
رَقِيبًا
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan
pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah
memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada
Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan
kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa':
1]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدً يُصْلِحْ
لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ
وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada
Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki
amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan
Rasul-Nya, maka sungguh ia menang dengan kemenangan yang besar.” [Al-Ahzaab:
70-71]
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah
(Al-Qur-an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallaahu
‘alaihi wa sallam (As-Sunnah). Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang
diada-adakan (dalam agama), setiap yang diada-adakan (dalam agama) adalah
bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.
Amma ba’du:
Kepada saudara-saudaraku seiman dan se’aqidah...
Selayaknyalah kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala atas segala nikmat yag Allah karuniakan kepada kita yang semua itu wajib
untuk kita syukuri. Nikmat yang Allah berikan kepada kita sangatlah banyaki,
tidak dapat dan tidak akan dapat kita hitung. Maka kewajiban seorang Muslim dan
Muslimah adalah mensyukuri nikmat-nikmat yang Allah karuniakan kepada kita. Di
antaranya adalah nikmat Islam, nikmat iman, nikmat sehat, nikmat rizki, dan
lainnya yang Allah berikan kepada kita.
Mensyukuri nikmat-nikmat Allah adalah wajib hukumnya. Allah
Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:
وَآتَاكُم
مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ
ۚ وَإِن تَعُدُّوا
نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
ۗ إِنَّ الْإِنسَانَ
لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
“Seandainya kamu menghitung nikmat-nikmat Allah, niscaya
kamu tidak akan dapat menghitungnya. Sesungguhnya manusia sangat zhalim dan
sangat mengingkari (nikmat Allah).” [Ibrahim : 34]
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan bahwa manusia sangat
zhalim dan sangat kufur karena mereka tidak mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang
diberikan kepada mereka.
Di antara nikmat yang Allah berikan kepada kita adalah
nikmat Islam, iman, rizki, harta, umur, waktu luang, dan kesehatan untuk
beribadah kepada Allah dengan benar dan untuk menuntut ilmu syar’i.
Manusia diberikan dua kenikmatan, namun banyak di antara
mereka yang tertipu. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نِعْمَتَانِ
مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ الصِّحَّةُ
وَالْفَرَاغُ.
“Dua nikmat yang banyak manusia tertipu dengan keduanya,
yaitu nikmat sehat dan waktu luang.”[1]
Banyak di antara manusia yang tidak mengguna-kan waktu sehat
dan waktu luangnya dengan sebaik-baiknya. Ia tidak gunakan untuk belajar
tentang Islam, tidak ia gunakan untuk menimba ilmu syar’i. Padahal dengan
menghadiri majelis taklim yang mengajarkan Al-Quran dan As-Sunnah menurut
pemahaman para Shahabat, akan bertambah ilmu, keimanan, dan ketakwaannya kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga dapat menambah amal kebaikannya.
Semoga melalui majelis taklim yang kita kaji dari
kitab-kitab para ulama Salaf, Allah memberikan hidayah kepada kita di atas
Islam, ditetapkan hati dalam beriman, istiqamah di atas Sunnah, serta diberikan
hidayah taufik oleh Allah untuk dapat melaksanakan syari’at Islam secara kaffah
(menyeluruh) dan kontinyu hingga kita diwafatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
dalam keadaan mentauhidkan Allah dan melaksanakan Sunnah. Semoga Allah
senantiasa memudahkan kita untuk selalu menuntut ilmu syar’i, diberikan
kenikmatan atasnya, dan diberikan pemahaman yang benar tentang Islam dan Sunnah
menurut pemahaman Salafush Shalih.
Seorang Muslim tidak akan bisa melaksanakan agamanya dengan
benar, kecuali dengan belajar Islam yang benar berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah
menurut pemahaman Salafush Shalih. Agama Islam adalah agama ilmu dan amal
karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam diutus dengan membawa ilmu dan amal
shalih.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ
بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ
عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ ۚ وَكَفَىٰ
بِاللَّهِ شَهِيدًا
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan
agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah
sebagai saksi.” [Al-Fat-h: 28]
Yang dimaksud dengan al-hudaa (petunjuk) dalam ayat ini
adalah ilmu yang bermanfaat. Dan yang dimaksud dengan diinul haqq (agama yang
benar) adalah amal shalih. Allah Ta’ala mengutus Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan kebenaran dari kebatilan, menjelaskan
Nama-Nama Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, hukum-hukum dan
berita yang datang dari-Nya, serta memerintahkan untuk melakukan segala apa
yang bermanfaat bagi hati, ruh, dan jasad.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyuruh ummat-nya
agar mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah Ta’ala, mencintai-Nya,
berakhlak yang mulia, beradab dengan adab yang baik dan melakukan amal shalih.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang ummatnya dari perbuatan syirik,
amal dan akhlak yang buruk, yang berbahaya bagi hati, badan, dan kehidupan
dunia dan akhiratnya. [2]
Cara untuk mendapat hidayah dan mensyukuri nikmat Allah
adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Menuntut ilmu adalah jalan yang lurus untuk
dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil, Tauhid dan syirik, Sunnah dan
bid’ah, yang ma’ruf dan yang munkar, dan antara yang bermanfaat dan yang
membahayakan. Menuntut ilmu akan menambah hidayah serta membawa kepada
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Seorang Muslim tidaklah cukup hanya dengan menyatakan
keislamannya tanpa berusaha untuk memahami Islam dan mengamalkannya.
Pernyataannya harus dibuktikan dengan melaksanakan konsekuensi dari Islam.
Karena itulah menuntut ilmu merupakan jalan menuju kebahagiaan yang abadi.
1. Menuntut Ilmu Syar’i Wajib Bagi Setiap Muslim Dan
Muslimah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طَلَبُ
الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.”[3]
Imam al-Qurthubi rahimahullaah menjelaskan bahwa hukum
menuntut ilmu terbagi dua:
Pertama, hukumnya wajib; seperti menuntut ilmu tentang shalat,
zakat, dan puasa. Inilah yang dimaksudkan dalam riwayat yang menyatakan bahwa
menuntut ilmu itu (hukumnya) wajib.
Kedua, hukumnya fardhu kifayah; seperti menuntut ilmu
tentang pembagian berbagai hak, tentang pelaksanaan hukum hadd (qishas, cambuk,
potong tangan dan lainnya), cara mendamaikan orang yang bersengketa, dan
semisalnya. Sebab, tidak mungkin semua orang dapat mempelajarinya dan apabila
diwajibkan bagi setiap orang tidak akan mungkin semua orang bisa melakukannya,
atau bahkan mungkin dapat menghambat jalan hidup mereka. Karenanya, hanya
beberapa orang tertentu sajalah yang diberikan kemudahan oleh Allah dengan
rahmat dan hikmah-Nya.
Ketahuilah, menuntut ilmu adalah suatu kemuliaan yang sangat
besar dan menempati kedudukan tinggi yang tidak sebanding dengan amal apa
pun.[4]
2. Menuntut Ilmu Syar’i Memudahkan Jalan Menuju Surga
Setiap Muslim dan Muslimah ingin masuk Surga. Maka, jalan
untuk masuk Surga adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Sebab Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ
كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا،
نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً
مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ،
وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ،
يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي
الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا،
سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا
وَاْلآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ
الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ
فِي عَوْنِ أَخِيهِ، وَمَنْ
سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ
اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا
إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ
فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ
اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ
بَيْنَهُمْ، إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ
السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ الْـمَلاَئِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ،
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ،
لَـمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ.
“Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari
seorang mukmin, maka Allah melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat.
Barangsiapa memudahkan (urusan) atas orang yang kesulitan (dalam masalah
hutang), maka Allah memudahkan atasnya di dunia dan akhirat. Barangsiapa
menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah menutupi (aib)nya di dunia dan
akhirat. Allah senantiasa menolong hamba selama hamba tersebut senantiasa
menolong saudaranya. Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu,
maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum
berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) untuk membaca Kitabullah dan
mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman turun atas mereka,
rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyanjung
mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang lambat
amalnya, maka tidak dapat dikejar dengan nasabnya.” [5]
Di dalam hadits ini terdapat janji Allah ‘Azza wa Jalla
bahwa bagi orang-orang yang berjalan dalam rangka menuntut ilmu syar’i, maka
Allah akan memudahkan jalan baginya menuju Surga.
“Berjalan menuntut ilmu” mempunyai dua makna:
Pertama : Menempuh jalan dengan artian yang sebenarnya,
yaitu berjalan kaki menuju majelis-majelis para ulama.
Kedua : Menempuh jalan (cara) yang mengantarkan seseorang
untuk mendapatkan ilmu seperti menghafal, belajar (sungguh-sungguh), membaca,
menela’ah kitab-kitab (para ulama), menulis, dan berusaha untuk memahami
(apa-apa yang dipelajari). Dan cara-cara lain yang dapat mengantarkan seseorang
untuk mendapatkan ilmu syar’i.
“Allah akan memudahkan jalannya menuju Surga” mempunyai dua
makna. Pertama, Allah akan memudah-kan memasuki Surga bagi orang yang menuntut
ilmu yang tujuannya untuk mencari wajah Allah, untuk mendapatkan ilmu,
mengambil manfaat dari ilmu syar’i dan mengamalkan konsekuensinya. Kedua, Allah
akan memudahkan baginya jalan ke Surga pada hari Kiamat ketika melewati
“shirath” dan dimudahkan dari berbagai ketakutan yang ada sebelum dan
sesudahnya. Wallaahu a’lam.•
Juga dalam sebuah hadits panjang yang berkaitan tentang
ilmu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَطْلُبُ
فِيْهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ
بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْـجَنَّةِ وَإِنَّ
الْـمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ
وَإِنَّهُ لَيَسْتَغْفِرُ لِلْعَالِـمِ مَنْ فِى السَّمَاءِ
وَاْلأَرْضِ حَتَّى الْـحِيْتَانُ فِى
الْـمَاءِ وَفَضْلُ الْعَالِـمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ
الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ.
إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ
لَـمْ يَرِثُوا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَإِنَّمَا
وَرَثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ
بِحَظٍّ وَافِرٍ.
“Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah
mudahkan jalannya menuju Surga. Sesungguhnya Malaikat akan meletakkan sayapnya
untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan
sesungguhnya seorang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun oleh
makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air.
Sesungguhnya keutamaan orang ‘alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan
atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan
sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka
wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sungguh,
ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak.”[6]
Jika kita melihat para Shahabat radhiyallaahu anhum ajma’in,
mereka bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu syar’i. Bahkan para Shahabat
wanita juga bersemangat menuntut ilmu. Mereka berkumpul di suatu tempat, lalu
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka untuk menjelaskan tentang
Al-Qur-an, menelaskan pula tentang Sunnah-Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Allah Ta’ala juga memerintahkan kepada wanita untuk belajar Al-Qur-an
dan As-Sunnah di rumah mereka.
Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan,
وَقَرْنَ
فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ
الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ
وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ
عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ
تَطْهِيرًا وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي
بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ
وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu
berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang Jahiliyyah dahulu, dan
laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahlul
Bait, dan membersihkan kamu dengan sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang
dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan al-Hikmah (Sunnah Nabimu).
Sungguh, Allah Mahalembut, Maha Mengetahui.” [Al-Ahzaab: 33-34]
Laki-laki dan wanita diwajibkan menuntut ilmu, yaitu ilmu
yang bersumber dari Al-Qur-an dan As-Sunnah karena dengan ilmu yang dipelajari,
ia akan dapat mengerjakan amal-amal shalih, yang dengan itu akan mengantarkan
mereka ke Surga.
Kewajiban menuntut ilmu ini mencakup seluruh individu Muslim
dan Muslimah, baik dia sebagai orang tua, anak, karyawan, dosen, Doktor,
Profesor, dan yang lainnya. Yaitu mereka wajib mengetahui ilmu yang berkaitan
dengan muamalah mereka dengan Rabb-nya, baik tentang Tauhid, rukun Islam, rukun
Iman, akhlak, adab, dan mu’amalah dengan makhluk.
3. Majelis-Majelis Ilmu adalah Taman-Taman Surga
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْـجَنَّةِ فَارْتَعُوْا، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ
مَا رِيَاضُ الْـجَنَّةِ؟ قَالَ:
حِلَقُ الذِّكْرِ.
“Apabila kalian berjalan melewati taman-taman Surga,
perbanyaklah berdzikir.” Para Shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang
dimaksud taman-taman Surga itu?” Beliau menjawab, “Yaitu halaqah-halaqah dzikir
(majelis ilmu).” [7]
‘Atha' bin Abi Rabah (wafat th. 114 H) rahimahullaah
berkata, “Majelis-majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis-majelis halal dan
haram, bagaimana harus membeli, menjual, berpuasa, mengerjakan shalat, menikah,
cerai, melakukan haji, dan yang sepertinya.” [8]
Ketahuilah bahwa majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis
ilmu, majelis yang di dalamnya diajarkan tentang tauhid, ‘aqidah yang benar
menurut pemahaman Salafush Shalih, ibadah yang sesuai Sunnah Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, muamalah, dan lainnya.
Buku yang ada di hadapan pembaca merupakan buku “Panduan
Menuntut Ilmu”. Di antara yang penulis jelaskan di dalamnya adalah keutamaan
menuntut ilmu, kiat-kiat dalam meraih ilmu syar’i, penghalang-penghalang dalam
memperoleh ilmu, adab-adab dalam menuntut ilmu, hal-hal yang harus dijauhkan
oleh para penuntut ilmu, perjalanan ulama dalam menuntut ilmu, dan yang
lainnya. Penulis jelaskan masalah menuntut ilmu karena masalah ini sangatlah
penting. Sebab, seseorang dapat memperoleh petunjuk, dapat memahami dan
mengamalkan Islam dengan benar apabila ia belajar dari guru, kitab, dan cara
yang benar. Sebaliknya, jika seseorang tidak mau belajar, atau ia belajar dari
guru yang tidak mengikuti Sunnah, atau melalui cara belajar dan kitab yang
dibacakan tidak benar, maka ia akan menyimpang dari jalan yang benar.
Para ulama terdahulu telah menulis kitab-kitab panduan dalam
menuntut ilmu, seperti Imam Ibnu ‘Abdil Barr dengan kitabnya Jaami’ Bayaanil
‘Ilmi wa Fadhlihi, Imam Ibnu Jama’ah dengan kitabnya Tadzkiratus Samii’, begitu
pula al-Khatib al-Baghdadi yang telah menulis banyak sekali kitab tentang
berbagai macam disiplin ilmu, bahkan pada setiap disiplin ilmu hadits beliau
tulis dalam kitab tersendiri. Juga ulama selainnya seperti Imam Ibnul Jauzi,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (dalam Majmuu’ Fataawaa-nya dan kitab-kitab
lainnya), Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (dalam kitabnya Miftaah Daaris Sa’aadah
dan kitab-kitab lainnya), dan masih banyak lagi para ulama lainnya hingga zaman
sekarang ini, seperti Syaikh bin Baaz, Syaikh al-Albani, dan Syaikh
al-‘Utsaimin rahimahumullaah.
Dalam buku ini, penulis berusaha menyusunnya dari berbagai
kitab para ulama terdahulu hingga sekarang dengan harapan buku ini menjadi
panduan agar memudahkan kaum Muslimin untuk menuntut ilmu, memberikan semangat
dalam menuntut ilmu, beradab dan berakhlak serta berperangai mulia yang
seharusnya dimiliki oleh setiap penuntut ilmu. Mudah-mudahan buku ini
bermanfaat bagi penulis dan para pembaca sekalian, serta bagi kaum Muslimin.
Mudah-mudahan amal ini diterima oleh Allah Subhaanahu wa Ta'ala dan menjadi
timbangan amal kebaikan penulis pada hari Kiamat. Dan mudah-mudahan dengan kita
menuntut ilmu syar’i dan mengamalkannya, Allah ‘Azza wa Jalla akan memudahkan
jalan kita untuk memasuki Surga-Nya. Aamiin.
Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para Shahabat beliau,
serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan kebaikan hingga hari
Kiamat.
[Disalin dari Muqaddimah buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju
Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan
Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
________
Footnotes
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6412),
at-Tirmidzi (no. 2304), Ibnu Majah (no. 4170), Ahmad (I/258,344), ad-Darimi
(II/297), al-Hakim (IV/306), dan selainnya dari Shahabat Ibnu ‘Abbas
radhiyallaahu ‘anhuma.
[2]. Lihat kitab Taisiir Karimir Rahmaan fii Tafsiir
Kalaamil Mannaan (hal. 295-296) karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di
(wafat th. 1376 H) rahimahullaah, cet. Muassasah ar-Risalah, th. 1417 H.
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 224),
dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahiih al-Jaami’ish
Shaghiir (no. 3913). Diriwayatkan pula oleh Imam-imam ahli hadits yang lainnya
dari beberapa Shahabat seperti ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu
Sa’id al-Khudri, dan al-Husain bin ‘Ali radhiyallaahu ‘anhum
[4]. Lihat Tafsiir al-Qurthubi (VIII/187), dengan diringkas.
Tentang pembagian hukum menuntut ilmu dapat juga dilihat dalam Jaami’ Bayaanil
‘Ilmi wa Fadhlihi (I/56-62) oleh Ibnu ‘Abdil Barr.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699),
Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud (no. 3643), At-Tirmidzi (no. 2646), Ibnu Majah
(no. 225), dan Ibnu Hibban (no. 78-Mawaarid), dari Shahabat Abu Hurairah
radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh ini milik Muslim.
• Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (II/297) dan Qawaa’id wa
Fawaa-id minal Arba’iin an-Nawawiyyah (hal. 316-317).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (V/196), Abu
Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682), Ibnu Majah (no. 223), dan Ibnu Hibban
(no. 80 al-Mawaarid), lafazh ini milik Ahmad, dari Shahabat Abu Darda’
radhiyallaahu ‘anhu.
[7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3510),
Ahmad (III/150) dan lainnya, dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu.
At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.” Lihat takhrij lengkapnya dalam
Silsilah ash-Shahiihah (no. 2562).
[8]. Disebutkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam al-Faqiih
wal Mutafaqqih (no. 40). Lihat kitab al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 132).
Sumber; http://almanhaj.or.id/content/2307/slash/0/menuntut-ilmu-jalan-menuju-surga/
Langganan:
Komentar
(
Atom
)



