Oleh
Ustadz Sufyan bin Fuad Baswedan,MA
Untuk menjawab masalah yang cukup penting ini, kita perlu
memiliki gambaran yang jelas apa itu pensiun? Apakah hakikat dari uang
pensiunan? Bagaimana seseorang bisa mendapatkannya? Dan bagaimana sebenarnya
pengelolaan uang pensiun tadi?
Untuk itu, berikut ini penulis kutipkan beberapa hal dari
brosur resmi yang diedarkan oleh Biro Dana Pensiun[1] dan dari sumber-sumber
terkait lainnya sebagaimana berikut ini.
Ketika kita pada usia produktif dan bekerja, kita memperoleh
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bagi yang bekerja pada sebuah
pemberi kerja (perusahaan, lembaga pendidikan, dan lain-lain) umumnya menerima
penghasilan secara rutin setiap bulan. Ketika kita mencapai usia pensiun,
sebagian dari kita masih menerima penghasilan secara rutin dari pemberi kerja,
yaitu berupa uang pensiun. Adapun Program Pensiun adalah suaru program yang
mengupayakan tersedianya uang pensiun (atau disebut juga manfaat pensiun) bagi
pesertanya.
Definisi dana pensiun menurut UU No. 11/1992: Dana pensiun
merupakan badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan
manfaat pensiun bagi pesertanya.
Sejak diberlakukan Undang-undang No. 11 Tahun 1992, di
Indonesia hanya ada dua lembaga yang dapat menyelenggarakan program dana
pensiun, yaitu Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) dan Dana Pensiun Pemberi
Kerja (DPPK).
DPPK adalah sebuah lembaga yang dibuat oleh sebuah
perusahaan guna mengelola dana pensiun para pekerjanya. Oleh karena itu,
peserta DPPK hanya terbatas pada mereka yang terikat hubungan kerja dengan
perusahaan yang membuat DPPK atau biasa disebut tertutup. Pengurus dari DPPK
bukan pendiri, melainkan orang atau badan yang ditunjuk dan mendapatkan
pengesahan Menteri untuk menjalankan dan mengelola dana pensiun. Sedang DPLK
merupakan sebuah badan yang bisa didirikan oleh dua lembaga, yaitu Bank Umum
dan Perusahaan Asuransi Jiwa.
DPLK memiliki fungsi yang lebih luas dibanding dengan DPPK,
yakni seluruh masyarakat, baik perorangan maupun kelompok dapat menjadi peserta
dana pensiun. Berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 1992, terdapat tiga unsur
yang terlibat dalam program pensiun melalui DPLK. Pertama, peserta, yang
menyetor iuran dan menikmati pensiun. Kedua, DPLK, yang menyelenggarakan
program pensiun. Ketiga, Perusahaan Asuransi Jiwa, yang menyediakan fasilitas
anuitas[2] sebagai manfaat pensiun yang diberikan secara berkala kepada
peserta.
Dari keterangan di atas, bisa kita simpulkan bahwa pensiun
adalah keadaan saat seseorang tidak lagi aktif bekerja sebagai pegawai atau
karyawan di suatu perusahaan. Pun begitu, tidak hanya karyawan atau pegawai
yang bisa mendapatkan uang pensiun, namun semua orang bisa mendapatkannya
dengan syarat-syarat tertentu. Bagaimana? Yaitu dengan mengikuti program dana
pensiun. Bila ia seorang pegawai/karyawan, maka ia punya dua pilihan, yaitu
mengikuti DPPK atau mengikuti DPLK. Sedangkan bila ia bukan pegawai/karyawan,
maka hanya ada satu cara untuk mendapatkan dana pensiun, yaitu mengikuti DPLK.
Adapun program pensiun yang tersedia di Indonesia –sejauh
penelitian kami- hanya ada dua.
Bagi yang mengikuti DPPK, biasanya dana pensiun dipotongkan
dari gaji bulanan. Lalu dikelola oleh lembaga tertentu. Yang menjadi masalah
ialah cara pengelolaan dana tersebut? Apakah diinvestasikan untuk proyek-proyek
halal, atau untuk proyek yang tidak jelas, atau justru untuk yang haram,
seperti didepositokan di bank dan diserahkan kembali beserta bunganya (baca:
riba)?
Bila tidak ada kejelasan dalam hal ini, maka si
karyawan/pegawai hanya berhak mendapatkan tak lebih dari total potongan gajinya
selama ia bekerja di perusahaan tersebut. Adapun selebihnya adalah harta yang
tidak jelas statusnya. Misalnya: A bekerja di perusahaan B selama 25 tahun,
dengan gaji perbulan Rp 1,5 juta, dipotong Rp 100 ribu sebagai dana pensiun.
Dengan begitu, selama 25 tahun –jika tidak ada perubahan- maka A telah membayar
dana pensiun sebesar Rp 30 juta. Jadi, ia hanya berhak menerima dana pensiun
total tidak lebih dari Rp. 30 juta, baik diberikan secara berangsur maupun
sekaligus.
Alasannya, potongan gaji yang selama ini ia berikan kepada
pengelola dan pensiun –yang tidak jelas cara pengelolaannya- identik dengan
meminjamkan uang kepada si pengelola (qardh). Uang pensiunan yang dikembalikan
ke si pegawai statusnya adalah badal (pengganti) yang senilai dari potongan
gaji yang dahulu ia bayarkan, dan bukan benda yang sama. Ia tidak sama dengan
wadi’ah (menitipkan barang tertentu) yang kemudian barang itu dikembalikan lagi
dan tidak diganti dengan barang lain yang sejenis. Oleh karena itu, berlakukah
hukum qardh dalam uang pensiunan yang asalnya dari potongan gaji ini.
Pengelolaan dana pensiun juga tidak bisa dianggap sebagai
bentuk mudharabah, karena dalam mudharabah, pemodal memiliki hak penuh terhadap
seluruh modalnya. Ia bisa meminta kembali modalnya selama belum digunakan. Dan
ia harus siap kehilangan sebagian modal atau seluruhnya bila mudharabah tersebut
ternyata merugi, sebagaimana ia juga berpotensi mendapat keuntungan yang besar
bila mudharabah tersebut mendatangkan keuntungan. Artinya, dalam mudharabah
tidak ada jaminan modal kembali, namun kepemilikan modal tetap utuh di tangan
pemodal. Sedangkan dalam pengelolaan dana pensiun, dana yang disetorkan
otomatis keluar dari kepemilikan si penyetor. Ia tidak bisa diminta kembali
atau dicairkan kecuali setelah yang bersangkutan (penyetor) dianggap pensiun,
dengan syarat-syarat tertentu yang berlaku. Akan tetapi, di sisi lain, uang
yang disetorkan sifatnya terjamin (tidak akan hilang). Jadi, ia mirip dengna
meminjamkan uang secara berangsur namun kontinyu kepada seseorang, untuk
dikembalikan lagi dalam jumlah yang senilai setelah jangka waktu tertentu, baik
secara berangsur maupun sekaligus. Inilah yang dalam istilah fiqih dikenal
dengan nama qardh.
Dalam kaidah fiqih disebutkan:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
Setiap qardh (pinjaman uang) yang menarik manfaat tertentu,
maka manfaat tersebut tergolong riba.
Jadi, bila si pemberi pinjaman (dalam hal ini adalah
karyawan atau peserta DPPK) mendapatkan manfaat –apapun bentuknya, baik jasa
maupun benda- dari potongan gaji yang dibayarkannya, maka manfaat tersebut
adalah riba. Intinya, ia hanya berhak mendapat uang pensiunan senilai dengan
total potongan gaji yang dibayarkannya, tak lebih dari itu. Manfaat apa pun
yang ia dapatkan selain ituk, statusnya adalah riba.
Kecuali bila tambahan yang diberikan oleh si pengelola
sifatnya murni sebagai hadiah yang sukarela, maka tidak mengapa. Akan tetapi,
adakah pengelola yang seperti itu hari ini? Ini bila cara pengelolaan uang
tersebut tidak jelas. Namun bila ia jelas-jelas didepositokan atau ditabung di
bank oleh si pengelola, atau diinvestasikan pada proyek-proyek yang tidak
syar’i, maka jelaslah keuntungan yang didapat termasuk riba sekaligus harta
haram.
Adapun bila dana pensiun tadi diinvestasikan pada
proyek-proyek yang mubah/syar’i, lalu sebagian dari keuntungannya diberikan
kepada si peserta dana pensiun setelah ia pensiun, maka dalam hal ini harus
berlaku aturan mudharabah. Artinya, dana tersebut tidak boleh dijamin pasti
kembali, namun harus ada resiko yang ditanggung oleh si pemodal (yang dalam hal
ini adalah karyawan yang dipotong gajinya). Ia harus siap merugi (berkurang
modalnya) atau bahkan kehilangan modal, sebagaimana ia berpotensi mendapat
keuntungan pula dari modalnya. Dan kepemilikan modal tetap berada di tangannya
secara penuh. Masalahnya, adakah aturan-aturan seperti ini berlaku dalam pengelolaan
dana pensiun? Agaknya tidak demikian, sehingga kesimpulannya, bahwa dana
pensiun tersebut harus disikapi sebagai qardh, bukan sebagai mudharabah.
Menurut Bapepam, sumber dana pensiun berasal dari kekayaan
dan investasi. Kekayaan itu sendiri terdiri dari iuran normal (sumber utama
kekayaan dana pensiun) dan iuran tambahan.
Iuran normal ada dua jenis. Pertama, Iuran Normal Pemberi
Kerja, yang dibayarkan oleh pemberi kerja dan ditetapkan dengan perhitungan
aktuaris. Kedua, Iuran Normal Peserta, yang dibayarkan oleh peserta dan
ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun.
Kedua macam iruan ini berlaku untuk Program Pensiun Iuran
Pasti (PPIP). Dalam PPIP, besar kecilnya uang pensiun ditentukan oleh kumulasi
dari seluruh iuran pensiun ditambah dengan hasil investasinya. Iuran pensiun
bulanan bisa berasal hanya dari perusahaan saja, atau perusahaan dengan
karyawan, dengan besaran tertentu.
Untuk Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP), besarnya iuran
pensiun, khususnya iuran perusahaan ditetapkan dengan menggunakan perhitungan
aktuaria, yang dilakukan secara berkala minimal sekali dalam 3 tahun atau
sewaktu-waktu dilakukan perubahan peraturan yang berdampak pada kewajiban
pendanaan. Iuran perusahaan dibagi menjadi iuran normal dan iuran tambahan.
Yang dimaksud dengan iuran normal, adalah iuran yang menjadi kewajiban
perusahaan berdasarkan perhitungan aktuaris secara berkala. Sedangkan iuran tambahan,
adalah iuran yang menjadi beban perusahaan bilamana terjadi perubahan peraturan
yang berdampak pada pendanaan. Bila peserta juga ikut membayar iuran, besarnya
sudah ditetapkan dengan prosentase tertentu, sedangkan iuran perusahaan bisa
berubah-ubah, tergantung pada hasil dari perhitungan aktuaria; sebagaimana
telah disinggung tadi, kekayaan Dana Pensiun berasal dari iuran pensiun dan
hasil investasinya. Sedangkan investasinya terbatas pada bentuk-bentuk
tertentu, yang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 511/KMK. 06/2002
tentang Investasi Dana Pensiun sebagai berikut:
1. Deposito Berjangka pada Bank.
2. Deposito on call pada Bank.
3. Sertifikat Deposito pada Bank.
4. Saham yang tercatat di Bursa Efek.
5. Obligasi yang tercatat di Bursa Efek.
6. Penempatan langsung pada saham yang diterbitkan oleh
badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia.
7. Surat pengakuan utang yang diterbitkan oleh badan hukum
yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia.
8. Tanah di Indonesia.
9. Bangunan di Indonesia.
10. Tanah dan bangunan di Indonesia.
11. Unit penyertaan reksadana sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang tentang Pasar Modal.
12. Sertifikat Bank Indonesia; dan atau
13. Surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia.
Enam bentuk investasi (yang bergaris bawah) di antaranya
jelas-jelas haram, karena terkait langsung dengan sistem ribawi. Adapun lima
bentuk lainnya (diberi tanda tanya), tergolong syubhat (tidak jelas). Dari
sini, jelaslah bahwa dana pensiun yang diterima oleh pegawai/karyawan (baik
yang bulanan maupun yang sekaligus) adalah campuran antara harta halal dengan
harta haram/syubhat. Harta halal adalah yang berasal dari gabungan antara iuran
peserta dengan iuran pemberi kerja (perusahaan). Sedangkan harta syubhatnya
berasal dari investasi yang mencampuradukkan antara yang halal dengan yang
haram; dan harta haram lebih berpotensi karena bentuk investasi haramnya lebih
banyak.
Adapun bagi mereka yang mengikuti DPLK, yang menurut
undang-undang di Indonesia harus melibatkan pihak kedua (bank), maka statusnya
jelas haram. Karena semua bentuk asuransi komersial identik dengan qimar
(judi). Sebagaimana difatwakan oleh Majma’ al Fiqh al-Islami.[3]
Jadi, jelaslah bahwa mengikuti DPLK yang pasti melibatkan
lembaga asuransi [4], merupakan sesuatu yang diharamkan. Adapun status uang
pensiun yang diterima, maka sama seperti yang sebelumnya. Yaitu ia hanya berhak
mendapatkan dalam jumlah total yang sama besar dengan premi-premi yang telah
dibayarkannya. Ini bagi yang terlanjur mengikuti DPLK, adapun yang belum
terlanjur, maka secara syar’i ia tidak boleh masuk ke dalam sistem yang
diharamkan.
Bila seseorang telah menerima uang pensiunan yang setara
dengan total premi yang ia bayarkan, maka selebihnya harus ia belanjakan untuk
kegiatan sosial tanpa mengaharap pahala. Persis seperti menyikapi uang
riba/bunga bank. Ia tidak boleh memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi,
namun hendaklah disedekahkan kepada fakir miskin atau dipakai untuk pembiayaan
fasilitas umum.
KESIMPULAN
Status uang pensiunan ditentukan oleh beberapa faktor
berikut:
Pertama : Jenis pekerjaan yang dilakukan; bila pekerjaannya
halal, maka gajinya pun halal, sehingga uang pensiunan yang berasal dari
potongan gaji pada dasarnya halal. Sebaliknya, jika jenis pekerjaannya haram,
seperti pegawai bank misalnya; maka uang pensiunannya otomatis haram, karena ia
berasal dari gaji yang haram. Keharaman ini berlaku bagi yang mengetahui
harmnya bekerja di Bank. Misalnya, bila seseorang pernah menjadi pegawai Bank
selama 20 tahun, namun ia baru tahu keharaman kerja di Bank 10 tahun terakhir,
maka pensiun yang boleh diterima hanyalah yang terkumpul dari potongan gajinya
selama 10 tahun pertama saja. Demikian yang dinukil oleh Syaikh Muhammad Shalih
al-Munajjid dari guru beliau, Syaikh Bin Baz.[5]
Kedua : Jenis program pensiun yang diikuti. Bila mengikuti
PPIP, maka yang uang pensiun yang halal ialah yang berasal dari iuran peserta
dan iuran perusahaan saja, adapun selebihnya adalah uang haram karena merupakan
hasil investasi dengan cara-cara ribawi. Sedangkan bagi yang mengikuti PPMP,
maka yang halal ialah yang berasal dari iuran perusahaan dan iuran tambahan
(bila ada); demikian pula jika dalam prakteknya peserta dikenai iuran pula,
maka gabungan dari kedua atau ketiga iuran tadilah yang berhak ia terima.
Adapun selebihnya bersifat riba yang haram.
Ketiga : Pengelola dana pensiun itu sendiri. Bila di kelola
oleh DPLK, maka keharamannya jelas, karena menggunakan sistem asuransi. Namun
bila dikelola oleh DPPK, maka tak lepas dari syubhat dan perlu kejelian untuk
memilah antara yang halal dengan yang haram.
PENUTUP
Sebagai penutup, mungkin ada sebagian kalangan yang berbeda
pendapat dengan kami dalam menghukumi uang pensiun. Biasanya mereka berpijak
pada sejumlah fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah Da-imah atau beberapa ulama
secara perorangan. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa mereka berfatwa sesuai
dengan kondisi yang berlaku di negara masing-masing; atau sesuai dengan
informasi yang disampaikan oleh si penanya. Oleh karena itu, tidak seyogynya fatwa-fatwa
tadi diterapkan begitu saja pada negara lain yang sistemnya jauh berbeda dengan
tempat keluarnya fatwa, atau negara tempat si penanya. Bahkan ada di antara
para ulama yang sama sekali tidak mau menerima uang pensiun, seperti Syaikh
Abdurrazzaq ‘Afifi, yang notabene adalah salah seorang anggota Lajnah Da-imah
itu sendiri.
Adapun fatwa Lajnah Da'imah yang menganggap uang pensiun
sebagai sesuatu yang halal, karena merupakan bantuan/penghargaan pemerintah
kepada para pegawai yang telah mengabdi untuk kepentingan negara. Ini tentunya
tidak sama dengan sistem yang berlaku di Indonesia. Karena ternyata di negara
kita dana pensiun tidak 100% dari bantuan pemerintah, bahkan sebagiannya adalah
hasil investasi yang tidak jelas. Atau kalau ia peserta DPLK, berarti terjerat
dalam sistem asuransi komersial yang haram. Lagi pula, yang menjadi patokan
dalam hukum syar’i adalah hakikat sesuatu itu sendiri dan bukan namanya.
Biarpun sama-sama dinamakan uang pensiun, namun jika hakikatnya adalah asuransi
komersial (DPLK), maka hukumnya tetap haram.
CATATAN:
Bila si penerima uang pensiun tergolong fakir, maka –menurut
sejumlah ulama- ia boleh menggunakan uang tersebut bagi kepentingan pribadinya
sekadarnya (sebatas kebutuhannya), walaupun sebagian harta tadi berstatus
haram.
Dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (9/351) Imam
Nawawi menukil dari al-Ghazali sebagai berikut,”Jika ia memiliki harta haram
dan ingin bertaubat serta melepaskan diri darinya, maka jika ia mengetahui
pemilik uang tersebut secara pribadi, ia wajib menyerahkannya kepada
pemiliknya, atau kepada wakilnya. Jika si pemilik telah wafat, maka diserahkan
kepada ahli warisnya. Namun jika pemiliknya tidak diketahui dan tidak mungkin
dipasitkan orangnya, maka hendaklah harta tersebut dibelanjakan untuk kemaslahatan
kaum Muslimin secara umum, seperti pembangunan jembatan, masjid, kemaslahatan
jalan, dan semisalnya yang dipakai secara bersama oleh kaum muslimin. Kalau
tidak bisa seperti itu, maka boleh disedekahkan kepada orang fakir atau kaum
fuqara’... Jika ia menyedekahkannya kepada orang fakir, maka harta tersebut
tidak menjadi haram bagi si fakir, namun ia berstatus halal dan baik baginya.
Dia (pemegang harta haram tadi) juga boleh bersedekah kepada diri dan
keluarganya kalau memang dia juga fakir. Sebab bila keluarganya tergolong
fakir, maka sifat kefakiran ini terwujud pada mereka, bahkan mereka lebih
berhak disedekahi. Dia juga boleh mengambil sebagian harta tadi bagi dirinya
sekadarnya, sebab ia juga fakir.
Pendapat yang dinyatakan al-Ghazali dalam masalah ini, juga
dinyatakan oleh Ulama Syafi’iyyah lainnya, dan pendapat mereka memang benar.
Al-Ghazali juga menukil pendapat ini dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan para
Salaf lainnya, termasuk Ahmad bin Hambal, al-Harits al-Muhasibi, dan
orang-orang wara’ lainnya. Alasannya, karena uang haram tersebut tidak boleh
dihanguskan dan dibuang ke laut (atau sampah), sehingga tidak ada pilihan lain
kecuali dengan membelanjakannya untuk kemaslahatan kaum Muslimin.
Wallahu Ta’ala a’lam.[6]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun
XVII/1435H/2013M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat: www.bapepamlk.depkeu.go.id/dana_pensiun
[2]. Anuitas adalah suatu rangkaian penerimaan atau
pembayaran tetap yang dilakukan secara berkala pada jangka waktu tertentu.
[3]. Lihat terjemahan fatwa secara ringkas dalam rubrik
Fatawa Nawazil edisi ini.
[4]. Dalam brosur Biro Dana Pensiun, disebutkan ada 24 bank
dan perusahaan asuransi yang menangani DPLK. Semuanya adalah bank konvensional
(ribawi) dan asuransi komersial.
[5]. Diringkas dari pertanyaan no. 12.397 di situs (موقع الإسلام سؤال وجواب) dengan judul (مكافأة نهاية الخدمة لموظفي البنك)
[6]. Lihatموقغ الإسلام سؤال وجواب)
(fatwa no 167.645 dengan judul (حكم راتب التقاعد)
.
Sumber; Almanhaj.or.id
Sumber; Almanhaj.or.id
18.58
Unknown

Posted in
0 komentar :
Posting Komentar