Oleh
Ustadz Mu'tashim
Salah satu kebutuhan pokok yang harus ada dalam setiap
tatanan kehidupan manusia, dari kehidupan yang terkecil sampai yang terbesar
adalah adanya peraturan dengan segala konsekuensinya yang dijadikan sebagai
pijakan bagi semuanya. Karenanya, di setiap lini kehidupan pasti ada peraturan
atau undang-undang yang berlaku, baik tertuang ataupun tidak, tertulis ataupun
tidak.
Begitu pula dengan agama ini yang berfungsi sebagai
rambu-rambu bagi seluruh manusia, yang telah Allah Azza wa Jalla pilihkan untuk
makhluk-Nya. Allah Azza wa Jalla adalah Dzat yang Maha Adil, Maha Mengetahui
dan Maha Penyayang kepada para makhluk-Nya. Apa saja yang telah diatur dan
dipilihkan-Nya buat manusia, tidak mungkin akan menyengsarakan mereka.
Di antara peraturan yang telah ditegaskan Allah Azza wa
Jalla demi kemaslahatan seluruh manusia adalah peraturan tentang hal pencurian,
yang berupa sangsi tegas dengan hukuman potong tangan bagi para pelakunya.
Allah Azza wa Jalla menegaskan:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا
أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
فَمَن تَابَ مِن بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ ۗ إِنَّ
اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka
barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan
kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [al-Mâidah/5:38-39]
Dan apa yang telah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
lakukan kepada seseorang yang tertangkap basah ketika mencuri. ‘Abdullâh Ibnu
Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata:
أََنَّرَسُوْلَ اللَّهِ صّلى اللّهُ عَلَيْهِ
وَ سَلَمَ قَطَعَ سَا رِقًا فِي مِجَنٍّ قِيْمَتُهُ ثَلاَثَةُ دَرَاهِمَ
Bahwa Rasûlullâh memotong tangan seseorang yang mencuri
tameng/perisai, yang nilainya sebesar tiga dirham [Muttafaqun ‘Alaihi]
Ibnu Mundzir rahimahullah dalam hal ini berkata,”Para Ulama
sepakat bahwa hukum potong tangan bagi pencuri dilakukan bila ada dua orang
saksi yang adil, beragama Islam dan merdeka.” [1]
‘Abdurrahmân al-Jazirî berkata, “Hukum had atas pencurian
telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan Sunnah serta kesepakatan para ulama. Allah
Azza wa Jalla telah menyebutkan hukumannya dalam ayat-Nya yang mulia. Dia Azza
wa Jalla telah memerintahkan potong tangan atas pencuri baik laki-laki atau
perempuan, budak atau merdeka, Muslim atau non Muslim guna melindungi dan
menjaga harta. Hukum potong tangan ini telah diberlakukan pada zaman jahiliyah
sebelum Islam. Setelah Islam datang, Allah Azza wa Jalla menetapkannya dan
menambahnya dengan persyaratan yang telah diketahui.” [2]
KEJAMKAH HUKUM POTONG TANGAN ITU?
Tudingan bahwa agama Islam kejam, melanggar hak asasi
manusia, terbelakang dan sangat primitive dalam penerapan hukuman, sudah lama
dihembuskan oleh orang-orang yang dungu dan tidak mau berfikir jauh ke depan.
Yaitu berupa emosi sesaat dan hanya memperhatikan kepentingan kelompok kecil
yang bersalah dan yang berhak atas hukuman tersebut serta menutup mata dan
telinga mereka terhadap masa depan masyarakat banyak dan orang-orang yang telah
dirugikan dari pencurian ini.
Perlu di ingat, bahwa harta sangat berharga bagi manusia.
Sehingga, dalam hal ini perhatian Islam kepada harta sangatlah besar, begitu
pula perintah untuk menjaganya. Rasulullah n menyandingkan keharamannya dengan
permasalahan nyawa.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَ الَكُمْ وَأَعْرَا
ضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامُ، كَحُرْ مَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِيْ بَلَدِ كُمْ هَذَا،
فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَأ
Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian diharamkan
atas kalian, sebagaimana diharamkannya hari kalian pada saat ini, di tempat
ini, dan di bulan ini [HR. Bukhâri] [3]
Pernahkah mereka berpikir, bagaimanakah perasaan orang-orang
yang kehilangan harta mereka? Terlebih bila harta yang terambil adalah harta
yang telah dikumpulkan selama bertahun-tahun, kemudian disimpan ditempat yang
dianggap aman, ternyata hilang begitu cepat. Berpikirkah mereka, bagaimana
dahsyatnya efek jera yang akan memberi keamanan bagi masyarakat luas
setelahnya, dari hukuman potong tangan yang mereka anggap sebagai pelanggar
norma kehidupan mereka? Hak asasi siapakah yang mereka perjuangkan?
Dalam kasus pencurian ini, syariat Islam berusaha menjaga
kepentingan orang banyak daripada menjaga kepentingan si pencuri. Memberi
hukuman yang berat berupa memotong tangan bertujuan membasmi sesuatu yang
menjadikan kecemasan manusia pada harta mereka. Sehingga Allah Azza wa Jalla
menjadikannya sebagai cambuk untuk mendapatkan maslahat yang lebih besar
dibandingkan dengan kepentingan si pencuri yang hanya sesaat dan banyak
menimbulkan kerusakan. Ini adalah hukuman yang setimpal yang penuh faedah dan
hikmah. Bila seseorang mau berpikir, hukuman setimpal bukan berarti menzhalimi
si pelaku, tetapi ini merupakan keadilan dalam peraturan Allah Azza wa Jalla
yang pasti baik bagi makhluk-Nya karena hanya Dia-lah yang Maha Mengetahui
segala sesuatunya. Bila hukuman ini dibiarkan diatur oleh seorang mujtahid atau
seorang hakim atau kelompok tertentu, pasti akan menyebabkan saling
bertentangan. Dan hasilnya tidak dapat dipastikan akan dapat mewujudkan suatu
keadilan yang dapat dirasakan oleh manusia, sehingga merasa tenang dari
kezhaliman dan kekerasan orang lain. [4]
SETIMPALKAH HUKUMAN POTONG TANGAN DENGAN BARANG YANG DICURI?
Ibnu Jauzi rahimahullah dan Abdul Wahhâb al-Maliki rahimahullah,
mengomentari beratnya hukuman yang diberlakukan dalam had pencurian, bila
dibandingkan antara harta yang tidak seberapa dengan hukuman potong tangan yang
harganya bisa jadi berlipat-lipat, mereka mengatakan, “Ketika tangan tersebut
dapat dijaga maka ia adalah sesuatu yang berharga, namun bila ia berkhianat
maka itu akan menjadi murah”.[5]
PERAMPASAN BARANG APAKAH BERLAKU HUKUMAN POTONG TANGAN?
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata ,”Penerapan hukum potong
tangan bagi pencuri senilai tiga dirham dan tidak diterapkannya kepada pelaku
pencopetan, perampasan dan pemaksaan merupakan kesempurnaan hikmah syariat.
Juga karena seorang pencuri sulit untuk dicegah karena ia masuk rumah orang
lain secara sembunyisembunyi, merusak tempat penyimpanan dan kunci. Dan tidak
memungkinkan pemilik barang melakukan penyimpanan lebih dari itu. Kalau
seandainya potong tangan tidak disyariatkan, maka akan terjadi saling mencuri
antar manusia, kerusakan akan membesar, semakin berbahaya. Berbeda dengan
pelaku pencopetan dan perampasan, karena dia mengambil secara terangterangan
dengan penglihatan manusia, yang memungkinkan mereka dapat mengambilnya kembali
dari kedua tangannya dan mengembalikan hak orang yang dizhalimi atau bersaksi
di hadapan hakim.[6]
Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Muslim bahwa
Qâdhi Iyâd rahimahullah berkata:”Allah Azza wa Jalla menjaga harta dengan
mewajibkan potong tangan bagi pencuri, dan tidak memberlakukannya pada selain
pencurian seperti penjambretan, pemalakan, atau pemaksaan karena perbuatan-perbuatan
tersebut lebih sedikit/ringan daripada pencurian. Dan juga korbannya
dimungkinkan bisa mengambil kembali dengan meminta tolong kepada penguasa serta
lebih mudah untuk ditegakkan bukti atasnya dibandingkan dengan kasus pencurian,
karena jarang sekali ada bukti. Maka, pencurian itu dianggap merupakan perkara
yang besar dan hukumannya lebih berat untuk lebih membuat jera.
DI ANTARA FAEDAH HUKUMAN POTONG TANGAN
Bila hukuman ini dilaksanakan, maka akan menghasilkan empat
hal:
1. Keimanan terhadap Islam, baik dalam akidah, syariah atau
manhaj.
2. Terwujudnya syariat Allah Azza wa Jalla pada seluruh
hukumhukumnya, baik secara politik, ekonomi maupun sosial.
3. Membuktikan faedah yang dihasilkan dari hokum hudûd
kepada akal dan kehidupan nyata.
4. Semangat untuk mewujudkan kemaslahatan bagi orang banyak
daripada kebaikan perorangan.[7]
SEBAB DAN SYARAT HUKUM POTONG TANGAN
Yang menjadi sebab dapat dijatuhkan hokum potong tangan
kepada seseorang adalah karena pencurian. Sebagaimana di firmankan oleh Allah
Azza wa Jalla yang artinya , “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana” [al-Mâidah/5:38]
Pencurian yang dimaksud di sini adalah pengambilan harta
dari pemiliknya, atau wakilnya dengan cara sembunyi sembunyi.
Harta yang dimaksud di atas tidak termasuk harta yang
ditiadakan oleh syariat. Walaupun secara bahasa dianggap sebagai harta. Seperti
arak, anjing, dll. Sehingga apabila seseorang mencuri anjing maka tidak akan
dikenakan hukum potong tangan. Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan, “….dan
mereka telah sepakat bahwa seorang Muslim bila ia mencuri khamer dari
saudaranya maka ia tidak dipotong (tangannya)…..”[8]
Dari pengertian di atas dapat dipahami pula bahwa kalimat
“pemiliknya atau wakilnya” tidak memasukkan pencurian selain harta yang bukan
miliknya, seperti harta yang masih menjadi milik orang lain dari hasil merampas
, korupsi, dll. Apabila ada orang yang mencurinya maka tidak sampai kepada
hukum potong tangan.
Apakah ini berarti diperbolehkan mencuri dari seorang yang
zhalim atau orang yang telah melakukan perampasan? Dalam hal ini ada dua
keadaan, bila niatnya adalah untuk mengembalikan barang tersebut kepada
pemiliknya, maka tidak mengapa. Namun bila untuk kepentingan pribadi atau
keluarganya sendiri, maka jelas tidak diperbolehkan.[9]
SYARAT DILAKSANAKANNYA HUKUMAN PENCURIAN
Hukum potong tangan bukanlah hukuman yang asal dilakukan
tanpa ada kriteria tertentu. Namun ia adalah hukuman yang adil, yang harus
dipenuhi kriterianya, sehingga pelakunya benar-benar berhak untuk dipotong
tangannya supaya menghasilkan efek jera baginya dan bagi orang lain, tanpa
mengabaikan hak si pelakunya.
Syarat yang harus dipenuhi dari pelaku pencurian itu
sendiri, antara lain:
• Ia seorang yang mukallaf, berniat untuk mencuri, tidak
terpaksa dalam mencuri, tidak didapati adanya hubungan antara pencuri dengan
yang dicuri dan tidak ada syubhat dalam melakukan pencurian. Yang dimaksud
dengan mukallaf adalah seorang yang baligh dan berakal.
• Tidak terpaksa, bukan seorang yang dipaksa oleh orang lain
untuk melaksanakan pencurian, dengan ancaman yang membahayakan nyawanya.
• Tidak didapati adanya hubungan kekerabatan, di sini
pengertiannya adalah harta yang dicuri bukan harta anaknya sendiri. Karena
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “ Kamu dan harta kamu adalah
milik bapak kamu”, atau harta bapak atau orang tuanya sendiri (menurut pendapat
mayoritas para ulama). Karena anaknya adalah bagian dari orang yang akan
mewarisi hartanya dan ia masih bertanggung jawab untuk memberikan nafkah
kepadanya, atau dari harta suaminya atau istrinya. Adapun hubungan
keluarga/kekerabatan yang lainnya maka tidak ada pengaruhnya .
• Tidak ada syubhat dalam melakukan pencurian. Maksudnya
adalah tidak dalam kondisi terpaksa dalam melakukannya, misalnya ia lapar,
sangat membutuhkan harta, dan sebagainya. Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata,”Ini adalah syubhat yang kuat yang dapat memalingkan hukum had karena
ia sangat membutuhkannya. Ini adalah (alasan) yang lebih kuat dibandingkan
dengan syubhat yang disebutkan oleh banyak para ulama…)[10]
Di antara syarat yang harus dipenuhi dalam kriteria
pencurian hukuman potong tangan, yang berkaitan dengan barang yang dicuri
antara lain:
1. Pencurian dilakukan dari tempat /penyimpanan yang
terjaga. Ibnu Mundzir rahimahullah berkata,”Mereka sepakat bahwa potong tangan
diberlakukan kepada orang yang mencuri dari tempat penyimpanan.”Yang dimaksud
tempat penyimpanan/yang terjaga di sini adalah tempat penunjang yang dapat
menjaga harta yang dimaksudkan dengan aman; misalnya rumah yang terkunci,
lemari, atau toko yang ditutup dan semisalnya.
Pengarang Ar-Raudhah Nâdiyah (2/277) berkata:
“Al-hirzu/tempat simpanan adalah yang dianggap masyarakat sebagai tempat
penyimpanan harta tersebut, seperti lumbung untuk menyimpan gabah, kandang
untuk menyimpan binatang dan keranjang untuk menyimpan buah-buahan.”
Tempat ini berbeda antara daerah/negara satu dengan yang
lainnya; disesuaikan dengan bentuk barang, tempat yang biasa digunakan untuk
penyimpanan. Bila pencurian yang dilakukan bukan pada tempat yang terjaga,
seperti uang yang ditaruh di depan pintu rumah, maka pelakunya tidak sampai
terkena hukuman potong tangan.[11]
2. Harta yang dicuri adalah harta yang terhormat, punya
pemiliknya atau wakilnya.
3. Barang yang dicuri mencapai nishâbnya ketika diambil dari
tempatnya.
Yang dimaksudkan nishâb di sini adalah adalah nishâb/batasan
minimal dalam masalah pencurian,, yaitu tiga dirham atau seperempat dinar atau
yang senilai dengan salah satu dari keduanya. Sebagaimana yang disebutkan dalam
hadist ‘Aisyahx, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tidak
dipotong tangan (pencuri) terkecuali pada seperempat dinar atau lebih”
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghukum
potong tangan terhadap pencurian perisai yang senilai tiga dirham [HR.
Muslim:1687), Tirmidzi (1446)]
Bila dinilai dengan uang rupiah maka bisa dilihat dengan
harga emas yang sekarang berlaku. Syaikh Utsaimîn berkata:”Jumlah seperempat
dinar yang dimaksudkan pada zaman sekarang, sedikit sekali, yakni dinar sebesar
mitsqâl–dinar Islam-, kemudian ia menanyakan orang pemilik emas, berapa ukuran
mitsqâl/berat dari emas? Sedikit sekali yakni sekitar dua puluh riyal. (satu
riyal sekitar dua ribu sampai tiga ribu rupiah). Lihat Liqâ‘ Maftûh (28/201).
4. Terbuktinya pencurian oleh si pelaku. Baik dengan cara
bukti dua orang saksi yang menyatakan bahwa pelakulah yang mengambil atau
dengan cara pengakuan dari si pelaku. Dalam masalah saksi tidak diperbolehkan
adanya saksi wanita, walaupun bersaksi terhadap dua orang wanita atau lebih
dengan seorang laki laki. Karena dalam masalah hukum hudûd , saksi wanita tidak
di gunakan.[12]
SIAPAKAH YANG MELAKSANAKAN HUKUMAN INI?
Yang melaksanakannya adalah penguasa/ pemerintah atau orang
yang ditugasi untuk menjalankannya.
APAKAH TANGANNYA YANG TELAH TERPOTONG DIGANTUNGKAN?
Imam Syafi‘i rahimahullah dan Ahmad rahimahullah berpendapat
bolehnya dalam hal ini, bila dimaksudkan untuk membuat jera, berdasarkan
riwayat dari at-Tirmidzi bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
didatangkan kepadanya seorang pencuri yang telah terpotong tangannya, kemudian
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengalungkannya di
lehernya.[13]
BAGAIMANA CARA PELAKSANAAN HUKUMAN POTONG TANGAN?
Dinukil oleh Syaikh Abdul Adzîm Badawi, dari penulis kitab
Ar-Raudhatun Nâdiyah: para Ulama sepakat; seorang pencuri pada pencurian yang
pertama dipotong tangan sebelah kanannya. Bila ia mencuri kedua kalinya, maka
dipotong kaki kirinya. Kemudian mereka berbeda pendapat bila ia mencuri untuk
ketiga kalinya; setelah dipotong tangan kanan dan kaki kirinya, mayoritas
mereka berpendapat dipotong tangan kirinya. Dan bila ia mencuri lagi setelahnya
maka dipotong kaki kanannya. Kemudian bila mencuri lagi, maka ia dihukum ta‘zîr
dan dikurung.[14]
TERHINDARNYA PENCURI DARI POTONG TANGAN
Seorang pencuri yang dimaafkan oleh orang yang dicurinya dan
belum sampai diangkat perkara/diajukan ke hakim, maka hal ini dapat
menghindarkan si pencuri dari hukuman potong tangan.[15]
Akhirnya, apa yang dibutuhkan manusia adalah apa yang telah
ditetapkan oleh Dzat yang telah menciptakan mereka. Karena tidak ada hukum yang
lebih baik dari hukum-Nya. Dan dalam melaksanakan konsekuensi ini, seorang
seharusnya tidak hanya mengedepankan pikiran pendeknya dan perasaan yang bukan
pada tempatnya. Tetapi lebih mengedepankan kepastian hasil yang akan didapat
bila benar-benar dijalankan sesuai dengan prosedur dan tata cara yang diatur
dalam agama ini. Allah Azza wa Jalla berfirman: “Boleh jadi kamu membenci
sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai
sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.” [al-Baqarah/2/216]
Wallâhu a‘lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun
XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Kitab Al-Ijmâ‘ : 261/140, Lihat kitab Al-Wajîz hal. 443
[2]. Kitab Al-Fiqih ‘Alal Madzâhibil Arba‘ah , Abdurrahmân
al-Jazirî, : 5/153
[3]. lihat Majalah Al-Buhûs Al-Islâmiyah:22/317
[4]. Lihat Majalah Jâmi‘ah Islâmiah:4/484
[5]. Ahmad al-Hasary, Al-Hudûd Wal Asyribah Fil Fiqh Islâmi :
374 – 375, Tafsîr Ibnu Katsîr:3/110
[6]. I‘lâmul Muwaqqi‘în hal 44
[7].Al-Fiqh Islâmi Wa Adillatuhu:219-222
[8]. lihat kitab Al-Wajîz hal 443
[9]. Al-Jâmi‘li Ahkâm Fiqhis Sunnah, Syaikh Muhammad bin
Shâlih al-Utsaimînt:4/205
[10]. lihat Al-Mausû‘atul Fiqhiyyatul
Kuwaitiyyah:2/8608-8609
[11]. Lihat kitab Al-Wajîz hal. 443
[12] Al-Jâmi‘ Li Ahkâm Fiqhis Sunnah, Syaikh Muhammad Bin
Shâlih al-Utsaimîn:4/206-210
[13]. Lihat Asna‘al Mathâlib : 4/153, Al-Mughni :10/266
[14]. lihat kitab Al-Wajîz hal 444
[15]. Lihat Al-Wajîz hal 444
Sumber; http://almanhaj.or.id/content/3132/slash/0/syariat-hukum-potong-tangan/
18.18
Unknown

Posted in
0 komentar :
Posting Komentar