Kamis, 24 April 2014

Rabu, 23 April 2014



Oleh
Ustadz Sufyan bin Fuad Baswedan,MA


Untuk menjawab masalah yang cukup penting ini, kita perlu memiliki gambaran yang jelas apa itu pensiun? Apakah hakikat dari uang pensiunan? Bagaimana seseorang bisa mendapatkannya? Dan bagaimana sebenarnya pengelolaan uang pensiun tadi?

Untuk itu, berikut ini penulis kutipkan beberapa hal dari brosur resmi yang diedarkan oleh Biro Dana Pensiun[1] dan dari sumber-sumber terkait lainnya sebagaimana berikut ini.

Ketika kita pada usia produktif dan bekerja, kita memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bagi yang bekerja pada sebuah pemberi kerja (perusahaan, lembaga pendidikan, dan lain-lain) umumnya menerima penghasilan secara rutin setiap bulan. Ketika kita mencapai usia pensiun, sebagian dari kita masih menerima penghasilan secara rutin dari pemberi kerja, yaitu berupa uang pensiun. Adapun Program Pensiun adalah suaru program yang mengupayakan tersedianya uang pensiun (atau disebut juga manfaat pensiun) bagi pesertanya.

Definisi dana pensiun menurut UU No. 11/1992: Dana pensiun merupakan badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun bagi pesertanya.

Sejak diberlakukan Undang-undang No. 11 Tahun 1992, di Indonesia hanya ada dua lembaga yang dapat menyelenggarakan program dana pensiun, yaitu Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) dan Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK).

DPPK adalah sebuah lembaga yang dibuat oleh sebuah perusahaan guna mengelola dana pensiun para pekerjanya. Oleh karena itu, peserta DPPK hanya terbatas pada mereka yang terikat hubungan kerja dengan perusahaan yang membuat DPPK atau biasa disebut tertutup. Pengurus dari DPPK bukan pendiri, melainkan orang atau badan yang ditunjuk dan mendapatkan pengesahan Menteri untuk menjalankan dan mengelola dana pensiun. Sedang DPLK merupakan sebuah badan yang bisa didirikan oleh dua lembaga, yaitu Bank Umum dan Perusahaan Asuransi Jiwa.

DPLK memiliki fungsi yang lebih luas dibanding dengan DPPK, yakni seluruh masyarakat, baik perorangan maupun kelompok dapat menjadi peserta dana pensiun. Berdasarkan Undang-undang No. 11 Tahun 1992, terdapat tiga unsur yang terlibat dalam program pensiun melalui DPLK. Pertama, peserta, yang menyetor iuran dan menikmati pensiun. Kedua, DPLK, yang menyelenggarakan program pensiun. Ketiga, Perusahaan Asuransi Jiwa, yang menyediakan fasilitas anuitas[2] sebagai manfaat pensiun yang diberikan secara berkala kepada peserta.

Dari keterangan di atas, bisa kita simpulkan bahwa pensiun adalah keadaan saat seseorang tidak lagi aktif bekerja sebagai pegawai atau karyawan di suatu perusahaan. Pun begitu, tidak hanya karyawan atau pegawai yang bisa mendapatkan uang pensiun, namun semua orang bisa mendapatkannya dengan syarat-syarat tertentu. Bagaimana? Yaitu dengan mengikuti program dana pensiun. Bila ia seorang pegawai/karyawan, maka ia punya dua pilihan, yaitu mengikuti DPPK atau mengikuti DPLK. Sedangkan bila ia bukan pegawai/karyawan, maka hanya ada satu cara untuk mendapatkan dana pensiun, yaitu mengikuti DPLK.

Adapun program pensiun yang tersedia di Indonesia –sejauh penelitian kami- hanya ada dua.

Bagi yang mengikuti DPPK, biasanya dana pensiun dipotongkan dari gaji bulanan. Lalu dikelola oleh lembaga tertentu. Yang menjadi masalah ialah cara pengelolaan dana tersebut? Apakah diinvestasikan untuk proyek-proyek halal, atau untuk proyek yang tidak jelas, atau justru untuk yang haram, seperti didepositokan di bank dan diserahkan kembali beserta bunganya (baca: riba)?

Bila tidak ada kejelasan dalam hal ini, maka si karyawan/pegawai hanya berhak mendapatkan tak lebih dari total potongan gajinya selama ia bekerja di perusahaan tersebut. Adapun selebihnya adalah harta yang tidak jelas statusnya. Misalnya: A bekerja di perusahaan B selama 25 tahun, dengan gaji perbulan Rp 1,5 juta, dipotong Rp 100 ribu sebagai dana pensiun. Dengan begitu, selama 25 tahun –jika tidak ada perubahan- maka A telah membayar dana pensiun sebesar Rp 30 juta. Jadi, ia hanya berhak menerima dana pensiun total tidak lebih dari Rp. 30 juta, baik diberikan secara berangsur maupun sekaligus.

Alasannya, potongan gaji yang selama ini ia berikan kepada pengelola dan pensiun –yang tidak jelas cara pengelolaannya- identik dengan meminjamkan uang kepada si pengelola (qardh). Uang pensiunan yang dikembalikan ke si pegawai statusnya adalah badal (pengganti) yang senilai dari potongan gaji yang dahulu ia bayarkan, dan bukan benda yang sama. Ia tidak sama dengan wadi’ah (menitipkan barang tertentu) yang kemudian barang itu dikembalikan lagi dan tidak diganti dengan barang lain yang sejenis. Oleh karena itu, berlakukah hukum qardh dalam uang pensiunan yang asalnya dari potongan gaji ini.

Pengelolaan dana pensiun juga tidak bisa dianggap sebagai bentuk mudharabah, karena dalam mudharabah, pemodal memiliki hak penuh terhadap seluruh modalnya. Ia bisa meminta kembali modalnya selama belum digunakan. Dan ia harus siap kehilangan sebagian modal atau seluruhnya bila mudharabah tersebut ternyata merugi, sebagaimana ia juga berpotensi mendapat keuntungan yang besar bila mudharabah tersebut mendatangkan keuntungan. Artinya, dalam mudharabah tidak ada jaminan modal kembali, namun kepemilikan modal tetap utuh di tangan pemodal. Sedangkan dalam pengelolaan dana pensiun, dana yang disetorkan otomatis keluar dari kepemilikan si penyetor. Ia tidak bisa diminta kembali atau dicairkan kecuali setelah yang bersangkutan (penyetor) dianggap pensiun, dengan syarat-syarat tertentu yang berlaku. Akan tetapi, di sisi lain, uang yang disetorkan sifatnya terjamin (tidak akan hilang). Jadi, ia mirip dengna meminjamkan uang secara berangsur namun kontinyu kepada seseorang, untuk dikembalikan lagi dalam jumlah yang senilai setelah jangka waktu tertentu, baik secara berangsur maupun sekaligus. Inilah yang dalam istilah fiqih dikenal dengan nama qardh.

Dalam kaidah fiqih disebutkan:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا

Setiap qardh (pinjaman uang) yang menarik manfaat tertentu, maka manfaat tersebut tergolong riba.

Jadi, bila si pemberi pinjaman (dalam hal ini adalah karyawan atau peserta DPPK) mendapatkan manfaat –apapun bentuknya, baik jasa maupun benda- dari potongan gaji yang dibayarkannya, maka manfaat tersebut adalah riba. Intinya, ia hanya berhak mendapat uang pensiunan senilai dengan total potongan gaji yang dibayarkannya, tak lebih dari itu. Manfaat apa pun yang ia dapatkan selain ituk, statusnya adalah riba.

Kecuali bila tambahan yang diberikan oleh si pengelola sifatnya murni sebagai hadiah yang sukarela, maka tidak mengapa. Akan tetapi, adakah pengelola yang seperti itu hari ini? Ini bila cara pengelolaan uang tersebut tidak jelas. Namun bila ia jelas-jelas didepositokan atau ditabung di bank oleh si pengelola, atau diinvestasikan pada proyek-proyek yang tidak syar’i, maka jelaslah keuntungan yang didapat termasuk riba sekaligus harta haram.

Adapun bila dana pensiun tadi diinvestasikan pada proyek-proyek yang mubah/syar’i, lalu sebagian dari keuntungannya diberikan kepada si peserta dana pensiun setelah ia pensiun, maka dalam hal ini harus berlaku aturan mudharabah. Artinya, dana tersebut tidak boleh dijamin pasti kembali, namun harus ada resiko yang ditanggung oleh si pemodal (yang dalam hal ini adalah karyawan yang dipotong gajinya). Ia harus siap merugi (berkurang modalnya) atau bahkan kehilangan modal, sebagaimana ia berpotensi mendapat keuntungan pula dari modalnya. Dan kepemilikan modal tetap berada di tangannya secara penuh. Masalahnya, adakah aturan-aturan seperti ini berlaku dalam pengelolaan dana pensiun? Agaknya tidak demikian, sehingga kesimpulannya, bahwa dana pensiun tersebut harus disikapi sebagai qardh, bukan sebagai mudharabah.

Menurut Bapepam, sumber dana pensiun berasal dari kekayaan dan investasi. Kekayaan itu sendiri terdiri dari iuran normal (sumber utama kekayaan dana pensiun) dan iuran tambahan.

Iuran normal ada dua jenis. Pertama, Iuran Normal Pemberi Kerja, yang dibayarkan oleh pemberi kerja dan ditetapkan dengan perhitungan aktuaris. Kedua, Iuran Normal Peserta, yang dibayarkan oleh peserta dan ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun.

Kedua macam iruan ini berlaku untuk Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP). Dalam PPIP, besar kecilnya uang pensiun ditentukan oleh kumulasi dari seluruh iuran pensiun ditambah dengan hasil investasinya. Iuran pensiun bulanan bisa berasal hanya dari perusahaan saja, atau perusahaan dengan karyawan, dengan besaran tertentu.

Untuk Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP), besarnya iuran pensiun, khususnya iuran perusahaan ditetapkan dengan menggunakan perhitungan aktuaria, yang dilakukan secara berkala minimal sekali dalam 3 tahun atau sewaktu-waktu dilakukan perubahan peraturan yang berdampak pada kewajiban pendanaan. Iuran perusahaan dibagi menjadi iuran normal dan iuran tambahan. Yang dimaksud dengan iuran normal, adalah iuran yang menjadi kewajiban perusahaan berdasarkan perhitungan aktuaris secara berkala. Sedangkan iuran tambahan, adalah iuran yang menjadi beban perusahaan bilamana terjadi perubahan peraturan yang berdampak pada pendanaan. Bila peserta juga ikut membayar iuran, besarnya sudah ditetapkan dengan prosentase tertentu, sedangkan iuran perusahaan bisa berubah-ubah, tergantung pada hasil dari perhitungan aktuaria; sebagaimana telah disinggung tadi, kekayaan Dana Pensiun berasal dari iuran pensiun dan hasil investasinya. Sedangkan investasinya terbatas pada bentuk-bentuk tertentu, yang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 511/KMK. 06/2002 tentang Investasi Dana Pensiun sebagai berikut:

1. Deposito Berjangka pada Bank.
2. Deposito on call pada Bank.
3. Sertifikat Deposito pada Bank.
4. Saham yang tercatat di Bursa Efek.
5. Obligasi yang tercatat di Bursa Efek.
6. Penempatan langsung pada saham yang diterbitkan oleh badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia.
7. Surat pengakuan utang yang diterbitkan oleh badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia.
8. Tanah di Indonesia.
9. Bangunan di Indonesia.
10. Tanah dan bangunan di Indonesia.
11. Unit penyertaan reksadana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Pasar Modal.
12. Sertifikat Bank Indonesia; dan atau
13. Surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Enam bentuk investasi (yang bergaris bawah) di antaranya jelas-jelas haram, karena terkait langsung dengan sistem ribawi. Adapun lima bentuk lainnya (diberi tanda tanya), tergolong syubhat (tidak jelas). Dari sini, jelaslah bahwa dana pensiun yang diterima oleh pegawai/karyawan (baik yang bulanan maupun yang sekaligus) adalah campuran antara harta halal dengan harta haram/syubhat. Harta halal adalah yang berasal dari gabungan antara iuran peserta dengan iuran pemberi kerja (perusahaan). Sedangkan harta syubhatnya berasal dari investasi yang mencampuradukkan antara yang halal dengan yang haram; dan harta haram lebih berpotensi karena bentuk investasi haramnya lebih banyak.

Adapun bagi mereka yang mengikuti DPLK, yang menurut undang-undang di Indonesia harus melibatkan pihak kedua (bank), maka statusnya jelas haram. Karena semua bentuk asuransi komersial identik dengan qimar (judi). Sebagaimana difatwakan oleh Majma’ al Fiqh al-Islami.[3]

Jadi, jelaslah bahwa mengikuti DPLK yang pasti melibatkan lembaga asuransi [4], merupakan sesuatu yang diharamkan. Adapun status uang pensiun yang diterima, maka sama seperti yang sebelumnya. Yaitu ia hanya berhak mendapatkan dalam jumlah total yang sama besar dengan premi-premi yang telah dibayarkannya. Ini bagi yang terlanjur mengikuti DPLK, adapun yang belum terlanjur, maka secara syar’i ia tidak boleh masuk ke dalam sistem yang diharamkan.

Bila seseorang telah menerima uang pensiunan yang setara dengan total premi yang ia bayarkan, maka selebihnya harus ia belanjakan untuk kegiatan sosial tanpa mengaharap pahala. Persis seperti menyikapi uang riba/bunga bank. Ia tidak boleh memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi, namun hendaklah disedekahkan kepada fakir miskin atau dipakai untuk pembiayaan fasilitas umum.

KESIMPULAN
Status uang pensiunan ditentukan oleh beberapa faktor berikut:
Pertama : Jenis pekerjaan yang dilakukan; bila pekerjaannya halal, maka gajinya pun halal, sehingga uang pensiunan yang berasal dari potongan gaji pada dasarnya halal. Sebaliknya, jika jenis pekerjaannya haram, seperti pegawai bank misalnya; maka uang pensiunannya otomatis haram, karena ia berasal dari gaji yang haram. Keharaman ini berlaku bagi yang mengetahui harmnya bekerja di Bank. Misalnya, bila seseorang pernah menjadi pegawai Bank selama 20 tahun, namun ia baru tahu keharaman kerja di Bank 10 tahun terakhir, maka pensiun yang boleh diterima hanyalah yang terkumpul dari potongan gajinya selama 10 tahun pertama saja. Demikian yang dinukil oleh Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid dari guru beliau, Syaikh Bin Baz.[5]

Kedua : Jenis program pensiun yang diikuti. Bila mengikuti PPIP, maka yang uang pensiun yang halal ialah yang berasal dari iuran peserta dan iuran perusahaan saja, adapun selebihnya adalah uang haram karena merupakan hasil investasi dengan cara-cara ribawi. Sedangkan bagi yang mengikuti PPMP, maka yang halal ialah yang berasal dari iuran perusahaan dan iuran tambahan (bila ada); demikian pula jika dalam prakteknya peserta dikenai iuran pula, maka gabungan dari kedua atau ketiga iuran tadilah yang berhak ia terima. Adapun selebihnya bersifat riba yang haram.

Ketiga : Pengelola dana pensiun itu sendiri. Bila di kelola oleh DPLK, maka keharamannya jelas, karena menggunakan sistem asuransi. Namun bila dikelola oleh DPPK, maka tak lepas dari syubhat dan perlu kejelian untuk memilah antara yang halal dengan yang haram.

PENUTUP
Sebagai penutup, mungkin ada sebagian kalangan yang berbeda pendapat dengan kami dalam menghukumi uang pensiun. Biasanya mereka berpijak pada sejumlah fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah Da-imah atau beberapa ulama secara perorangan. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa mereka berfatwa sesuai dengan kondisi yang berlaku di negara masing-masing; atau sesuai dengan informasi yang disampaikan oleh si penanya. Oleh karena itu, tidak seyogynya fatwa-fatwa tadi diterapkan begitu saja pada negara lain yang sistemnya jauh berbeda dengan tempat keluarnya fatwa, atau negara tempat si penanya. Bahkan ada di antara para ulama yang sama sekali tidak mau menerima uang pensiun, seperti Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, yang notabene adalah salah seorang anggota Lajnah Da-imah itu sendiri.

Adapun fatwa Lajnah Da'imah yang menganggap uang pensiun sebagai sesuatu yang halal, karena merupakan bantuan/penghargaan pemerintah kepada para pegawai yang telah mengabdi untuk kepentingan negara. Ini tentunya tidak sama dengan sistem yang berlaku di Indonesia. Karena ternyata di negara kita dana pensiun tidak 100% dari bantuan pemerintah, bahkan sebagiannya adalah hasil investasi yang tidak jelas. Atau kalau ia peserta DPLK, berarti terjerat dalam sistem asuransi komersial yang haram. Lagi pula, yang menjadi patokan dalam hukum syar’i adalah hakikat sesuatu itu sendiri dan bukan namanya. Biarpun sama-sama dinamakan uang pensiun, namun jika hakikatnya adalah asuransi komersial (DPLK), maka hukumnya tetap haram.

CATATAN:
Bila si penerima uang pensiun tergolong fakir, maka –menurut sejumlah ulama- ia boleh menggunakan uang tersebut bagi kepentingan pribadinya sekadarnya (sebatas kebutuhannya), walaupun sebagian harta tadi berstatus haram.

Dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (9/351) Imam Nawawi menukil dari al-Ghazali sebagai berikut,”Jika ia memiliki harta haram dan ingin bertaubat serta melepaskan diri darinya, maka jika ia mengetahui pemilik uang tersebut secara pribadi, ia wajib menyerahkannya kepada pemiliknya, atau kepada wakilnya. Jika si pemilik telah wafat, maka diserahkan kepada ahli warisnya. Namun jika pemiliknya tidak diketahui dan tidak mungkin dipasitkan orangnya, maka hendaklah harta tersebut dibelanjakan untuk kemaslahatan kaum Muslimin secara umum, seperti pembangunan jembatan, masjid, kemaslahatan jalan, dan semisalnya yang dipakai secara bersama oleh kaum muslimin. Kalau tidak bisa seperti itu, maka boleh disedekahkan kepada orang fakir atau kaum fuqara’... Jika ia menyedekahkannya kepada orang fakir, maka harta tersebut tidak menjadi haram bagi si fakir, namun ia berstatus halal dan baik baginya. Dia (pemegang harta haram tadi) juga boleh bersedekah kepada diri dan keluarganya kalau memang dia juga fakir. Sebab bila keluarganya tergolong fakir, maka sifat kefakiran ini terwujud pada mereka, bahkan mereka lebih berhak disedekahi. Dia juga boleh mengambil sebagian harta tadi bagi dirinya sekadarnya, sebab ia juga fakir.

Pendapat yang dinyatakan al-Ghazali dalam masalah ini, juga dinyatakan oleh Ulama Syafi’iyyah lainnya, dan pendapat mereka memang benar. Al-Ghazali juga menukil pendapat ini dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan para Salaf lainnya, termasuk Ahmad bin Hambal, al-Harits al-Muhasibi, dan orang-orang wara’ lainnya. Alasannya, karena uang haram tersebut tidak boleh dihanguskan dan dibuang ke laut (atau sampah), sehingga tidak ada pilihan lain kecuali dengan membelanjakannya untuk kemaslahatan kaum Muslimin.

Wallahu Ta’ala a’lam.[6]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVII/1435H/2013M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat: www.bapepamlk.depkeu.go.id/dana_pensiun
[2]. Anuitas adalah suatu rangkaian penerimaan atau pembayaran tetap yang dilakukan secara berkala pada jangka waktu tertentu.
[3]. Lihat terjemahan fatwa secara ringkas dalam rubrik Fatawa Nawazil edisi ini.
[4]. Dalam brosur Biro Dana Pensiun, disebutkan ada 24 bank dan perusahaan asuransi yang menangani DPLK. Semuanya adalah bank konvensional (ribawi) dan asuransi komersial.
[5]. Diringkas dari pertanyaan no. 12.397 di situs (موقع الإسلام سؤال وجواب) dengan judul (مكافأة نهاية الخدمة لموظفي البنك)

[6]. Lihatموقغ الإسلام سؤال وجواب) (fatwa no 167.645 dengan judul (حكم راتب التقاعد) .

Sumber; Almanhaj.or.id



Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas


Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Ghanm al-Asy’ari, dia berkata, “Abu ‘Amir atau Abu Malik al-Asy’ari Radhiyallâhu 'anhu telah menceritakan kepadaku, demi Allâh, dia tidak berdusta kepadaku, dia telah mendengar Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَـيَـكُوْنَـنَّ مِنْ أُمَّـتِـيْ أَقْوَامٌ يَـسْتَحِلُّوْنَ الْـحِرَ ، وَالْـحَرِيْرَ ، وَالْـخَمْرَ ، وَالْـمَعَازِفَ. وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَـى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوْحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَـهُمْ ، يَأْتِيْهِمْ –يَعْنِيْ الْفَقِيْرَ- لِـحَاجَةٍ فَيَـقُوْلُوْنَ : ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا ، فَـيُـبَـيِـّـتُـهُـمُ اللهُ وَيَـضَعُ الْعَلَمَ وَيَـمْسَـخُ آخَرِيْنَ قِرَدَةً وَخَنَازِيْرَ إِلَـى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

"Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan ummatku sekelompok orang yang menghalalkan kemaluan (zina), sutera, khamr (minuman keras), dan alat-alat musik. Dan beberapa kelompok orang sungguh akan singgah di lereng sebuah gunung lalu seseorang penggembala -yaitu orang fakir- mendatangi mereka dengan binatang ternak mereka, untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami besok hari.’ Kemudian Allâh mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allâh mengubah sebagian dari mereka menjadi kera dan babi sampai hari Kiamat."

TAKHRÎJ HADÎTS
Hadits ini diriwayatkan oleh:
1.Al-Bukhâri secara mu’allaq [1] dengan lafazh jazm (pasti) dalam Shahîh-nya (no. 5590). Lihat Fathul Bâri (X/51),
2. Ibnu Hibbân (no. 6719-at-Ta’lîqâtul Hisân),
3. Al-Baihaqi dalam Sunannya (X/221),
4. Abu Dawud dalam Sunannya (no. 4039).

Hadits ini shahîh. Karena beberapa Imam ahli hadits menghukumi hadits ini shahîh, di antaranya :

1. Dishahîhkan oleh al-Bukhâri, Ibnu Hibbân, al-Barqani[2] dan Abu ‘Abdillah al-Hâkim[3]
2. Ibnush Shalâh rahimahullâh berkata, “Hadits ini shahîh.”[4]
3. Ibnu Taimiyyah rahimahullâh berkata mengenai hadits ini, “Apa yang diriwayatkan oleh al- Bukhâri adalah shahîh.”[5]
4. Dishahîhkan juga oleh al-Isma’ili[6] dan Abu Dzarr al-Harawi.[7]
5. Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Hadits ini shahîh.”[8]
6. An-Nawawi rahimahullâh berkata, “Hadits ini shahîh.”[9]
7. Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullâh mengatakan, “Hadits ini adalah shahîh.”[10]
8. Ibnu Hajar rahimahullâh berkata, “Hadits ini shahîh, tidak ada cacat dan celaan padanya.”[11]
9. Asy-Syaukani rahimahullâh berkata, “Hadits ini shahîh, diketahui sanadnya yang bersambung berdasarkan syarat ash-Shahîh.”[12]
10. Dan ad-Dahlawi mengatakan, “(Sanadnya) bersambung dan shahîh.”[13]

Untuk mengetahui penjelasan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah musik dan nyanyian dapat dilihat dalam kitab Tahrîm Âlâtith Tharb karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullâh dan risalah Magister berjudul Ahâdîtsul Ma’âzîfi wal Ghinâ’ Dirâsatan Hadîtsiyyatan Naqdiyyatan (hlm. 58), karya Dr. Muhammad ‘Abdul Karim ‘Abdurrahman.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullâh juga membawakan nama-nama para Ulama ahli hadits yang menshahîhkan hadits ini dalam Tahrîm Âlâtith Tharb (hlm. 89).

Ibnu Hazm rahimahullâh (wafat th. 456 H) dan Muhammad bin Thahir al-Maqdisi rahimahullâh (wafat th. 507 H) mendha’îfk an hadits ini karena menyangka ada cacat dalam hadits ini, yaitu sanadnya terputus antara al-Bukhâri dan Hisyâm bin ‘Ammar dan juga Sahabat yang ada dalam hadits ini (yaitu Abu ‘Amir atau Abu Malik) tidak dikenal. Padahal para Imam ahli hadits yang lainnya telah menyatakan bahwa sanad hadits ini bersambung, di antara mereka adalah Ibnu Hibbân rahimahullâh dalam Shahîhnya, ath-Thabrâni rahimahullâh dalam al-Mu’jamul Kabîr, dan selain keduanya.

Selain itu, Hisyâm bin ‘Ammar termasuk guru Imam al-Bukhâri. Adapun Sahabat Rasûlullâh Abu ‘Amir atau Abu Malik yang dikenal, maka kita katakan bahwa seluruh Sahabat Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam adalah adil, sebagaimana telah menjadi kesepakatan kaum Muslimin.

Pada saat membantah Muhammad al-Ghazâli (Mesir) yang taklid kepada Ibnu Hazm dalam hal ini, Syaikh al-Albâni rahimahullâh mengatakan, “Dia (al-Ghazali) tidak mengetahui bahwa Hisyâm bin ‘Ammar termasuk guru Imam al-Bukhâri. Sehingga perkataan al-Bukhâri, “Telah berkata Hisyâm bin ‘Ammar.’’ bukanlah ta’lîq (adanya pemisah antara al-Bukhâri dengan Hisyâm) bahkan sebenarnya muttashil (bersambung) karena bagi Imam al-Bukhâri tidak ada beda antara perkataannya, “Hisyâm telah berkata,” atau “Hisyâm telah mengabarkan kepadaku.”[14]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Tidak ada upaya yang dilakukan oleh orang-orang yang menganggap cacat hadits di atas -seperti Ibnu Hazm- untuk mempertahankan pendapatnya yang batil tentang dibolehkannya nyanyian dan musik. Dia menyangka hadits itu tidak sah, karena munqathi’ (terputus sanadnya) karena al-Bukhâri -katanya- tidak memiliki sanad yang bersambung dalam hal hadits di atas!".

Untuk Menjawab Kekeliruan Ini:
1. Telah disepakati bahwa al-Bukhâri telah bertemu Hisyâm bin ‘Ammar dan mendengar (hadits) darinya. Sehingga apabila al-Bukhâri berkata, ‘Hisyâm telah berkata,’ maka kedudukan perkataan itu sama dengan, ‘Dari Hisyâm.’”

2. Jika al-Bukhâri tidak mendengar (langsung) hadits ini dari Hisyâm, maka dia tidak akan membolehkan dirinya untuk memastikan bahwa riwayat ini darinya, kecuali kalau telah shahîh bahwa Hisyâm (benar-benar) telah meriwayatkan hadits ini. Hal ini (keberanian seorang rawi untuk menyatakan bahwa seorang syaikh telah meriwayatkan sebuah hadits padahal dia tidak mendengar langsung dari syaikh tersebut-pen) -biasanya- karena banyaknya orang yang meriwayatkan hadits itu dari Syaikh tersebut dan karena masyhur (terkenal)nya hal tersebut. Dan al-Bukhâri adalah hamba Allâh yang paling jauh dari penipuan.

3. Bahwasanya al-Bukhâri telah memasukkan hadits tersebut dalam kitabnya yang terkenal dengan ash-Shahîh, dengan berhujjah (berargumen) dengannya, seandainya hadits itu bukan hadits shahîh, tentu beliau tidak akan melakukan yang demikian.

4. Al-Bukhâri memberikan ta’lîq (lafazh yang menunjukkan terputusnya sanad-pen) dalam hadits itu dengan ungkapan yang menunjukkan jazm (kepastian), tidak dengan ungkapan yang menunjukkan tamrîdh (cacat). Dan bahwasanya jika beliau bersikap tawaqquf (tidak berpendapat) dalam suatu hadits atau hadits itu tidak atas dasar syaratnya maka beliau akan mengatakan, ‘Diriwayatkan dari Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam ,’ dan juga dengan ungkapan, ‘Disebutkan dari beliau,’ atau dengan ungkapan yang sejenisnya. Tetapi jika beliau berkata, ‘Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda,’ maka berarti dia telah memastikan bahwa hadits itu disandarkan kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam .

5. Seandainya kita mengatakan berbagai dalil di atas tidak ada artinya, maka cukuplah bagi kita bahwa hadits tersebut shahîh dan mutt ashil (bersambung sanadnya) menurut perawi hadits yang lain.”[15]

Berikut ini penjelasan para Ulama hadits tentang Hisyâm bin ’Ammar, di antaranya:

• Imam Yahya bin Ma’in rahimahullâh berkata, ”Tsiqah.”[16]
• Imam al-Bukhâri rahimahullâh mentsiqahkannya karena beliau berhujjah dengannya di kitab Shahîhnya. Imam Ahmad al-’Ijli rahimahullâh berkata, ”Hisyâm bin ’Ammar ad-Dimasyqi tsiqah shadûq (terpercaya, jujur).”[17]
• Imam an-Nasâi rahimahullâh berkata, ”Lâ ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya).”[18]
• Hisyâm bin ’Ammar rahimahullâh merupakan salah seorang Ulama yang berpegang teguh dengan al-Qur’ân dan as-Sunnah. al- Hâfizh Ahmad bin ’Abdullah al-Khazraji rahimahullâh berkata, ”Hisyâm bin ’Ammar as- Sulami Abul Walid ad-Dimasyqi al-Muqri al-Hafizh al-Khathiib. Meriwayatkan dari Mâlik, al-Jarrah bin Malih, dan Yahya bin Hamzah dan banyak Ulama...”[19]

Beliau juga berkata dalam Siyar A’lâmin Nubalâ, ”Hisyâm bin ’Ammar...seorang Imam al-Hâfizh al-’Allâmah al-Muqri, Ulama penduduk Syam... khathîb penduduk Dimasyqa (Damaskus).”[20]

Beliau juga berkata dalam kitab al-’Ibar fî Khabari man Ghabar, ”Hisyâm bin ’Ammar...khathîb, qâri’, ahli fiqih, dan muhaddits penduduk Dimasyqa... dua orang Syaikh (guru) dari para Syaikhnya telah meriwayatkan darinya –karena dia memiliki kedudukan yang tinggi–.”[21]

Hadits ini secara jelas dan tegas mengharamkan al-ma’âzif –yaitu alat-alat musik–, karena Nabi Shallallâhu 'alaihi wa sallam mengabarkan bahwa akan ada suatu kaum diantara umatnya yang menganggap halal apa yang telah diharamkan Allâh Ta'âla atas mereka berupa zina, sutra, khamr, dan alat-alat musik.

KOSA KATA HADITS
اَلْحِرُ (berzina): yaitu kemaluan, asalnya adalah حِرْحٌ, yang jamaknya adalah أَحْرَاحٌ.[22]

اَلْمَعَازِفُ : Rebana dan sejenisnya yang ditabuh, sebagaimana dalam an-Nihâyah. Dalam al-Qâmûs, al-Ma’azif yaitu alat-alat musik seperti seruling dan mandolin. Bentuk tunggalnya adalah عُزْفٌ atau مِعْزَفٌ, seperti kata مِنْبَرٌ dan مِكْنَسَةٌ. Al-‘Aazif adalah orang yang memainkan alat musik dan juga penyanyi. Oleh sebab itu Ibnul Qayyim rahimahullâh dalam Ighâtsatul Lahfân menyebutkan, “Artinya adalah alat-alat musik seluruhnya, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahli bahasa Arab dalam masalah ini.”[23]

Ucapan itu lebih diperjelas lagi oleh adz-Dzahabi dalam as-Siyar (XXI/158), “al-Ma’âzif adalah nama bagi semua alat musik yang dimainkan seperti seruling, mandolin, clarinet, dan simbal.”[24]

SYARAH HADITS
Hadits ini merupakan hadits yang paling agung dan paling jelas dalam pengharaman lagu dan musik. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullâh ketika menjelaskan hadits ini mengatakan, “Pelajaran yang dapat diambil dari hadits tersebut adalah:

Pertama : Diharamkannya khamr (minuman keras).

Kedua : Diharamkannya alat musik. Riwayat al-Bukhâri menunjukkan hal itu sebagaimana terlihat dari beberapa segi berikut:

1. Sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam: “Yastahillûna (Mereka menganggap halal)” Dari ungkapan ini, jelas sekali bahwa semua yang disebutkan dalam hadits di atas, hukum asalnya adalah haram menurut syariat. Dan di antara yang disebutkan dalam hadits tersebut adalah alat-alat musik yang kemudian dihalalkan oleh sekelompok orang.

2. Haramnya musik diiringi dengan sesuatu yang sudah pasti keharamannya, yaitu zina dan khamr. Kalaulah alat-alat musik itu tidak haram, tentunya tidak akan diiringi dengan (penyebutan) zina dan khamr, insyâ Allâh.

Ada banyak hadits, yang sebagiannya shahîh, yang menerangkan tentang haramnya berbagai alat musik yang terkenal ketika itu seperti gendang, al-qanûn (sejenis alat musik yang menggunakan senar), dan lain-lain. Tidak ada seorang pun yang menyalahi tentang haramnya musik atau yang mengkhususkannya. Alat musik yang boleh hanyalah duff (rebana tanpa kerincingan) saja, dan itu pun dibolehkan hanya pada waktu acara pernikahan dan ‘Ied (hari raya). Dibolehkan dengan ketentuan yang rinci dalam kitab-kitab fiqih. Dan saya (Syaikh al-Albani) telah sebutkan (rinciannya) dalam buku bantahan terhadap Ibnu Hazm[25]

Oleh karena itu, empat Imam Madzhab telah sepakat tentang haramnya semua jenis alat musik.

Ada di antara mereka yang mengecualikan gendang (drumb band) untuk perang dan sebagian orang pada zaman ini membolehkan musik kemiliteran. Namun pendapat ini tidak benar karena beberapa alasan berikut :

• Di antara hadits-hadits yang menjelaskan keharamannya itu, tidak ada satu pun hadits yang mengkhususkan atau membolehkannya. Mereka yang membolehkan hanya berdasarkan ra’yu (pendapat) semata dan menganggap baik hal itu. Maka itu adalah batil.

• Kewajiban kaum Muslimin ketika mereka berperang, hendaklah mereka menghadapkan hati mereka kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan memohon agar Allâh Subhanahu wa Ta’ala menolong mereka untuk mengalahkan orangorang kafir. Itu akan membawa kepada ketenangan jiwa dan mengikat hati mereka. Adapun penggunaan alat-alat musik sudah pasti akan merusak dan akan memalingkan mereka dari dzikrullâh (berdzikir kepada Allâh). Allâh Ta'âla berfirman yang artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu pasukan (musuh) maka berteguh hatilah dan sebutlah (nama) Allâh banyakbanyak (berdzikir dan berdoa) agar kamu beruntung. [al-Anfâl/8:45].

• Menggunakan alat-alat musik termasuk kebiasaan orang-orang kafir. Allâh Ta'âla berfirman :

الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ

” ... orang-orang yang tidak beriman kepada Allâh dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allâh dan Rasul-Nya, dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allâh )...” [at-Taubah/9:29]

Kaum Muslimin tidak boleh menyerupai mereka, lebih-lebih menyerupai dalam halhal yang diharamkan Allâh Ta'âla kepada kita dengan pengharaman yang umum, contohnya adalah musik.

Janganlah Anda tertipu dengan pendapat yang Anda dengar dari orangorang sekarang yang dikenal sebagai seorang yang mengaku ahli fiqih yang menghalalkan musik. Mereka –demi Allâh– berfatwa dengan taklid dan mereka lebih membela hawa nafsu manusia. Mereka taklid kepada Ibnu Hazm rahimahullâh yang keliru dalam masalah ini –mudah-mudahan Allâh mengampuni kita dan dia– karena menganggap hadits Abu Mâlik tidak sah. Padahal hadits itu sudah jelas shahîh. Mengapa mereka (orang-orang yang membolehkan nyanyian dan musik) tidak mengikuti empat Imam Madzhab yang lebih paham, lebih ‘alim dalam agama, lebih banyak pengikutnya, dan lebih kuat hujjah (dalil)nya?!

Ketiga: Bahwa Allâh Ta'âla akan menyiksa sebagian orang fasiq dengan siksaan yang kongkrit di dunia, yaitu akan diubah bentuk mereka –kemudian akal mereka– seperti binatang ternak.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullâh berkata dalam Fat-hul Bâri (X/49) tentang hadits ini, “Ibnul ‘Arabi rahimahullâh mengatakan, ‘Perubahan bentuk bisa bermakna hakiki sebagaimana yang telah menimpa umat-umat terdahulu, dan bisa juga bermakna kinâyah (kiasan) yaitu perubahan akhlak mereka.’ Aku (Ibnu Hajar) menjawab, ’Yang benar adalah makna yang pertama (yakni akan diubah bentuknya secara hakiki) karena itulah yang sesuai dengan redaksi hadits.” Aku (Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullâh) berpendapat bahwa tidak menutup kemungkinan untuk menggabungkan kedua pendapat tersebut –sebagaimana telah kami sebutkan–. Bahkan (penggabungan) itulah yang dapat dipahami langsung dari kedua hadits. Wallâhu a’lam.”[26]

PENJELASAN PARA SAHABAT TENTANG HARAMNYA LAGU DAN MUSIK
1. ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallâhu 'anhuma (wafat th. 73H) Beliau Radhiyallâhu 'anhuma pernah melewati sekelompok orang yang sedang melakukan ihrâm, dan di antara mereka ada seorang yang bernyanyi, maka beliau Radhiyallâhu 'anhuma berkata, “Ingatlah, semoga Allâh tidak mendengarkan (do’a-do’a-red) kamu.”[27]

2. ‘Abdullâh bin ‘Abbâs Radhiyallâhu 'anhuma (wafat th. 68 H). Beliau berkata, “Rebana haram, al-ma’âzif (alat-alat musik) haram, al-kûbah (bedug atau gendang, dan yang sejenisnya) haram, dan seruling haram.”[28]

PENJELASAN DAN PENDAPAT PARA ULAMA SALAF TENTANG HARAMNYA NYANYIAN DAN DAN MUSIK
1. Khalifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullâh (wafat th. 101 H).
Beliau rahimahullâh menulis surat kepada guru anaknya, “Hendaklah yang pertama kali diyakini anak-anakku dari akhlakmu adalah membenci alat-alat musik, sesuatu yang dimulai dari setan, dan akibatnya ialah mendapatkan kemurkaan dari Allâh Yang Maha Pengasih. Karena sesungguhnya telah sampai kepadaku dari para Ulama yang terpercaya bahwa menghadiri alat-alat musik dan mendengarkan nyanyian-nyanyian serta menyukainya akan menumbuhkan kemunafikan dalam hati, sebagaimana air menumbuhkan rerumputan. Demi Allâh, sesungguhnya menjaga hal itu dengan tidak mendatangi tempat-tempat tersebut lebih mudah bagi orang yang berakal daripada bercokolnya kemunafikan dalam hati.”[29]

2. Imam al-Âjurri rahimahullâh (wafat th. 360 H).
Beliau mengharamkan nyanyian dan alat-alat musik dalam kitabnya, Tahrîmun Nard wasy Syatranj wal Malâhî. Beliau rahimahullâh berkata, “(Nyanyian itu) haram dilakukan dan haram mendengarkannya berdasarkan dalil dari Kitabullâh, Sunnah-Sunnah Rasûlullâh, perkataan para Sahabat Radhiyallâhu 'anhum, dan perkataan mayoritas para Ulama kaum Muslimin...”[30]

3. Imam Abu Bakar bin Walid ath-Thurtusyi al-Fikri rahimahullâh (wafat th. 520 H).
Beliau rahimahullâh adalah salah seorang Ulama pembesar madzhab Maliki rahimahullâh. Dalam muqaddimah kitabnya, Tahrîmus Sama’, beliau berkata, “…Kemudian bertambah banyak kebodohan, sedikit ilmu, dan perkara saling kontradiksi sehingga di kalangan kaum Muslimin ada yang melakukan maksiat dengan terang-terangan, kemudian semakin lama mereka bertambah jauh hingga sampai kepada kami bahwa ada sekelompok saudara kami dari kaum Muslimin —mudah-mudahan Allâh Ta'âla memberikan petunjuk kepada kami dan mereka— yang telah digelincirkan oleh setan dan telah sesat cara berpikirnya. Mereka senang kepada nyanyian dan permainan yang sia-sia. Mereka mendengarkan nyanyian dan musik serta menganggap hal itu sebagai bagian dari agama yang dapat mendekatkan diri kepada Allâh Ta'âla. Mereka telah menentang kaum Muslimin (para shahabat dan tabi’in). Mereka telah menyimpang dari jalan kaum Mukminin, dan telah menyalahi para fuqâhâ’ (para ahli fiqih) dan para Ulama pengemban risalah agama.

Allâh Ta'âla berfirman :

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

'Dan barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan Kami akan masukkan dia ke dalam Neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.' [an- Nisâ’/4:115].”[31]

4. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh (wafat th. 728 H).
Beliau rahimahullâh mengatakan, “Empat Imam Madzhab berpendapat bahwa semua alat musik adalah haram. Telah ada hadits Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Ulama lainnya bahwasanya Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam mengabarkan akan adanya orang-orang dari ummatnya yang menghalalkan zina, sutra, minum khamr, dan alat-alat musik serta mereka akan diubah menjadi kera dan babi. al-Ma’âzif adalah alat-alat musik sebagaimana yang disebutkan oleh para pakar bahasa Arab, bentuk jamak dari ma’zifah, yaitu alat yang dibunyikan. Dan tidak ada perselisihan sedikit pun dari pengikut para imam (tentang haramnya alat musik).”[32]

Beliau rahimahullâh mengatakan, “al-Ma’âzif (alat-alat musik) adalah khamr bagi jiwa. Dia bereaksi dalam jiwa lebih hebat daripada reaksi arak. Apabila mereka telah mabuk dengan nyanyian, mereka bisa terkena kesyirikan, condong kepada perbuatan keji dan zhalim sehingga mereka pun berbuat syirik, membunuh jiwa yang diharamkan Allâh Ta'âla dan berzina.”[33]

Beliau rahimahullâh juga mengatakan, “Adapun sama’ (mendengarkan) yang mencakup kemungkaran-kemungkaran agama, maka orang yang menganggapnya sebagai amalan qurbah (pendekatan diri kepada Allâh Ta'âla), ia harus disuruh bertaubat, bila mau bertaubat (maka diterima taubatnya), jika tidak bertaubat, ia dibunuh. Apabila ia adalah orang yang mentakwil atau tidak tahu, maka dia harus diberi penjelasan tentang kesalahan takwilnya itu, dan dijelaskan kepadanya ilmu yang dapat menghilangkan kebodohannya. Dalam Shahîh al-Bukhâri dan selainnya disebutkan bahwasanya Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam menyebutkan orang-orang yang menganggap halal kemaluan (zina), sutra, khamr, dan alat-alat musik dalam konteks celaan atas mereka dan bahwa Allâh akan menghukum mereka. Maka hadits ini menunjukkan haramnya alat-alat musik. Menurut pakar bahasa Arab, al-Ma-’âzif adalah alat-alat yang membuat lalai, dan nama ini mencakup semua alat musik yang ada.”[34]

5. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullâh (wafat th. 751 H).
Beliau rahimahullâh mengatakan, “Diantara perangkap dan tipu daya musuh Allâh Ta'âla, yang menyebabkan orang yang sedikit ilmu dan agamanya terpedaya, serta menyebabkan hati orang-orang bodoh dan pelaku kebathilan terperangkap adalah mendengarkan tepuk tangan, siulan, dan nyanyian dengan alat-alat yang diharamkan, yang menghalangi hati dari al-Qur’ân dan menjadikannya menikmati kefasikan dan kemaksiatan. Nyanyian adalah senandungnya setan dan dinding pembatas yang tebal dari ar-Rahman. Ia adalah mantra homoseksual dan zina. Dengannya orang fasik yang mabuk cinta mendapatkan puncak harapan dari orang yang dicintainya. Dengan nyanyian ini, setan memperdaya jiwa-jiwa yang bathil, ia menjadikan jiwa-jiwa itu – melalui tipu daya dan makarnya– menganggap nyanyian itu baik. Lalu, ia juga meniupkan syubhat-syubhat (argumen-argumen) bathil sehingga ia tetap menganggapnya baik dan menerima bisikannya, dan karenanya ia menjauhi al-Qur’ân…”[35]

Satu hal yang sangat mengherankan yaitu sebagian orang bernyanyi, berdansa, dan bergoyang dalam rangka beribadah –menurut sangkaan mereka–, mereka meninggalkan al-Qur’ân, dan mendengarkan lagu-lagu setan?!

Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh juga berkata, “Meskipun (majelis sama’/lagu dan musik) telah dihadiri oleh seratus wali (menurut kaum shufi) akan tetapi telah diingkari oleh lebih dari seribu wali. Meskipun dihadiri oleh Abu Bakar asy-Syibli, akan tetapi Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallâhu 'anhu tidak menghadirinya. Meskipun telah dihadiri oleh Yusuf bin Husain ar-Razi, namun yang jelas tidak dihadiri oleh ‘Umar bin al-Khaththab al-Fâruq Radhiyallâhu 'anhu yang dengannya Allâh Ta'âla memisahkan antara haq dan batil. Meskipun dihadiri oleh an-Nûri namun pasti tidaklah dihadiri oleh Dzun Nûrain ‘Utsmân bin ‘Aff ân Radhiyallâhu 'anhu. Meskipun dihadiri oleh Dzun Nun al-Mishri namun tidaklah dihadiri oleh ‘Ali bin Abi Thâlib al-Hasyimi Radhiyallâhu 'anhu … Meskipun dilakukan oleh mereka semua namun seluruh kaum Muhajirin dan Anshar, yang ikut serta dalam Perang Badar, peserta Bai’atur Ridhwan, dan segenap Sahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak ada yang pernah melakukannya. Demikian pula seluruh ulama ahlu fiqih dan fatwa, seluruh Ulama ahli hadits dan Ulama Ahlus Sunnah, seluruh ahli tafsir dan imam-imam qira’ah, seluruh imam-imam jarh dan ta’dil yang membela Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam dan agama beliau, tidak ada yang melakukannya. Lalu siapakah lagi yang melakukannya?[36] Pihak manakah yang berhak mendapatkan rasa aman ketika Allâh membangkitkan seluruh manusia lalu semuanya dikumpulkan?”[37]

FAWÂ-ID HADITS
1. Dalam hadits ini ada tanda-tanda kenabian Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam. Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam mengabarkan apa yang akan terjadi pada ummat Islam.

2. Haramnya zina.

3. Haramnya mengenakan pakain yang terbuat dari sutera bagi laki-laki. Karena ada hadits shahîh yang menjelaskan tentang halalnya sutera dan emas bagi wanita. Rasûlullâh Shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda :أُحِلَّ الذَّهَبُ وَالْحَرِيْرُ لِإِنَاثِ أُمَّتِيْ وَحُرِّمَ عَلَى ذُكُوْرِهَا Dihalalkan emas dan sutera bagi para wanita umatku dan diharamkan bagi laki-laki[38]

4. Haramnya khamr (minuman keras).

5. Haramnya lagu dan musik.

6. Semua jenis alat musik adalah haram kecuali duff (rebana) untuk acara pernikahan dengan beberapa ketentuan syari’at.

7. Nabi Shallallâhu 'alaihi wa sallam menjelaskan nanti akan ada orang Islam yang menghalalkan sutera, musik, zina dan khamr. Apa yang beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam sabdakan terbukti seperti yang kita lihat sekarang ini, sebagian ustadz, kyai, dan Ulama menghalalkan musik dan lagu, bahkan ikut
berjoget dan menyanyi.

Allâh ul Musta’ân wa ’Alaihi Tuklân walâ hawla walâ quwwata illâ billâh.

MARÂJI
1. Al-Qur-an dan terjemahnya.
2. Kutubus Sittah dan Musnad Imam Ahmad.
3. Sunan al-Baihaqi.
4. Majmû’ Fatâwâ Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
5. Ighâtsatul Lahafân, Imam Ibnul Qayyim. Tahqiq: Syaikh Ali Hasan.
6. Al-Istiqâmah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
7. Tahrîmun Nard wasy Syatranj wal Malaah, Abu Bakar bin Husain al-Aajurri.
8. Tahdzîbus Sunan, Imam Ibnul Qayyim.
9. Talbîs Iblîs, Ibnul Jauzi, cet. Daarul Kutub ’Ilmiyyah.
10. Majmû’ Rasâ-il al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali.
11. Siyar A’lâmin Nubalâ’, Imam adz-Dzahabi.
12. Mawâridul Amân, ringkasan Ighâtsatul Lahafân, Syaikh Ali Hasan.
13. Al-Muntaqan Nafîs, ringkasan Talbîs Iblîs, Syaikh Ali Hasan.
14. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
15. Nailul Authâr, Imam Asy-Syaukani. Tahqiq dan takhrij: Muhammad Subhi Hasan Hallâq.
16. Tahrîm Âlâtith Tharb, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
17. Ahâdîts al-Ma’âzif wal Ghinâ’ Dirâsatan Hadîtsiyyatan Naqdiyyatan, Muhammad ’Abdul Karim Abdurrahman.
18. Ar-Rîhul Qâshif ’al â Ahlil Ghinâ’ wal Ma’âzif, Dziyab bin Sa’ad Aalu Hamdan al-Ghamidi.
19. Fat-hu Dzil Jalâli wal Ikrâm Syarh Bulûghil Marâm, Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin.
20. Dan kitab-kitab lainnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVI/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Maksudnya, dengan lafazh yang menunjukkan bahwa sanadnya terputus antara al-Bukhâri dengan rawi setelahnya, yaitu Hisyâm bin ‘Ammar. Akan tetapi pada hakikatnya tidak terputus, seperti yang akan dijelaskan nanti.
[2]. Dalam Shahîhnya. Lihat Nashbur Râyah (IV/231).
[3]. Lihat Shiyânatu Shahîh Muslim minal Ikhlâl wal Ghalath wa Himâyatuhu minal Isqâth was Saqath (hlm. 84).
[4]. Muqaddimah Ibnu Shalâh fî ‘Ulûmil Hadîts (hlm. 32).
[5]. Al-Istiqâmah (I/294).
[6]. Dalam Shahîhnya. Lihat Tahdzîbus Sunan (IV/1801-1803), karya Ibnul Qayyim, tahqiq: DR. Isma’il bin Ghazi Marhaba, cet. Maktabah al-Ma’arif.
[7]. Dalam Shahîhnya. Lihat Fat-hul Bâri (X/52).
[8]. Ighâtsatul Lahfân (I/464), tahqiq: Syaikh Ali Hasan.
[9]. Irsyâdu Thullâbul Haqâ-iq (I/196), tahqîq Syaikh ‘Abdul Bâri Fat-hullah.
[10]. Majmû’ Rasâ-il al-Hâfizh Ibni Rajab al-Hanbali (Nuzhatul Asmâ’ (II/449).
[11]. Taghlîqut Ta’lîq (V/22).
[12]. Nailul Authâr (XIV/510), takhrij dan ta’liq: Subhi Hasan Hallâq.
[13]. al-Inshâf (hlm. 62). Dinukil dari Ahâdîtsul Ma’âzif wal Ghinâ Dirâsatan Hadîtsiyyatan Naqdiyyatan (hlm. 57-58).
[14]. Tahrîm Âlâtith Tharb (hlm. 28).
[15]. Lihat Ighâtsatul Lahfân (I/465-466), Mawâridul Amân (hlm. 329) dan Tahdzîbus Sunan (IV/1801-1803). Untuk mengetahui lebih lengkap jalan-jalan periwayatan hadits ini, lihat Tahrîm Âlâtith Tharb (hlm. 40-41 dan 80-91) dan Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 91).
[16]. Tahdzîbul Kamâl (XXX/247).
[17]. At-Tsiqât (IX/233) dan Siyar A’lâmin Nubalâ’ (XI/424).
[18]. Tahdzîbul Kamâl (XXX/248) dan Siyar A’lâmin Nubalâ’ (XI/424).
[19]. Khulâshah Tahdzîbu Tahdzîbil Kamâl fî Asmâ-ir Rij âl (hlm. 410).
[20]. Siyar A’lâmin Nubalâ’ (XI/420).
[21]. al-’Ibar fî Khabari man Ghabar (I/351).
[22]. Tahrîm Âlâtith Tharb, hlm. 76.
[23]. Ighâtsatul Lahfân (I/466).
[24]. Tahrîm Âlâtith Tharb, hlm. 79.
[25]. Yaitu kitab Tahrîm Âlâtith Tharb.—Pen.
[26]. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (I/188-194).
[27]. Lihat Dzammul Malâhi (no. 17), Talbîs Iblîs (hlm. 240), dan al- Muntaqan Nafîs min Talbîs Iblîs (hlm. 306).
[28]. Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunannya (X/222). Lihat Tahrîm Âlâtith Tharb (hlm. 92).
[29]. Dzammul Malâhi (no. 21), Talbîs Iblîs (hlm. 241), dan al- Muntaqan Nafîs (hlm. 306). Lihat Tahrîm Âlâtith Tharb (hlm. 120).
[30]. Tahrîmun Nard wasy Syatranj wal Malâhi (hlm. 39) tahqiq ‘Umar Gharamah al-Amrawi, cet. I th. 1400 H.
[31]. Ighâtsatul Lahfân (I/411) dan Mawâridul Amân (hlm. 298-299).
[32]. Majmû’ Fatâwâ (XI/576).
[33]. Majmû’ Fatâwâ (X/417).
[34]. Majmû’ Fatâwâ (XI/535).
[35]. Ighâtsatul Lahfân (I/408) dan Mawâridul Amân (hlm. 295).
[36]. Kalau generasi terbaik tidak pernah mendengarkan musik dan lagu, maka tidak ada yang melakukannya kecuali orang-orang fasik. Kenapa kalian berpaling dari generasi terbaik?!-Pen
[37]. Kasyful Ghithâ’ ’an Hukmi Samâ’il Ghinâ’ (hlm. 79-80), cet. 1-Daarul Jiil, th. 1412 H atau al-Kalâm ’ala Mas-alatis Samâ’ (hlm. 44), karya Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, tahqiq: Muhammad ’Uzair Syams, cet. 1-Dâr ’Alamil Fawâ-id, th. 1432 H.

[38]. Shahih: HR. Ahmad (IV/394, 407), An-Nasa-i (VIII/161), at- Tirmidzi (no. 1720), dan lainnya. At-Tirmidzi berkata: Hadits Abu Musa Hadits Hasan Shahih. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwâ-ul Ghalîl (no. 277).

Sumber : http://almanhaj.or.id/content/3596/slash/0/haramnya-musik/

Oleh
Ustadz Mu'tashim



Salah satu kebutuhan pokok yang harus ada dalam setiap tatanan kehidupan manusia, dari kehidupan yang terkecil sampai yang terbesar adalah adanya peraturan dengan segala konsekuensinya yang dijadikan sebagai pijakan bagi semuanya. Karenanya, di setiap lini kehidupan pasti ada peraturan atau undang-undang yang berlaku, baik tertuang ataupun tidak, tertulis ataupun tidak.

Begitu pula dengan agama ini yang berfungsi sebagai rambu-rambu bagi seluruh manusia, yang telah Allah Azza wa Jalla pilihkan untuk makhluk-Nya. Allah Azza wa Jalla adalah Dzat yang Maha Adil, Maha Mengetahui dan Maha Penyayang kepada para makhluk-Nya. Apa saja yang telah diatur dan dipilihkan-Nya buat manusia, tidak mungkin akan menyengsarakan mereka.

Di antara peraturan yang telah ditegaskan Allah Azza wa Jalla demi kemaslahatan seluruh manusia adalah peraturan tentang hal pencurian, yang berupa sangsi tegas dengan hukuman potong tangan bagi para pelakunya.

Allah Azza wa Jalla menegaskan:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ فَمَن تَابَ مِن بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [al-Mâidah/5:38-39]

Dan apa yang telah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan kepada seseorang yang tertangkap basah ketika mencuri. ‘Abdullâh Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata:

أََنَّرَسُوْلَ اللَّهِ صّلى اللّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمَ قَطَعَ سَا رِقًا فِي مِجَنٍّ قِيْمَتُهُ ثَلاَثَةُ دَرَاهِمَ

Bahwa Rasûlullâh memotong tangan seseorang yang mencuri tameng/perisai, yang nilainya sebesar tiga dirham [Muttafaqun ‘Alaihi]

Ibnu Mundzir rahimahullah dalam hal ini berkata,”Para Ulama sepakat bahwa hukum potong tangan bagi pencuri dilakukan bila ada dua orang saksi yang adil, beragama Islam dan merdeka.” [1]

‘Abdurrahmân al-Jazirî berkata, “Hukum had atas pencurian telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan Sunnah serta kesepakatan para ulama. Allah Azza wa Jalla telah menyebutkan hukumannya dalam ayat-Nya yang mulia. Dia Azza wa Jalla telah memerintahkan potong tangan atas pencuri baik laki-laki atau perempuan, budak atau merdeka, Muslim atau non Muslim guna melindungi dan menjaga harta. Hukum potong tangan ini telah diberlakukan pada zaman jahiliyah sebelum Islam. Setelah Islam datang, Allah Azza wa Jalla menetapkannya dan menambahnya dengan persyaratan yang telah diketahui.” [2]

KEJAMKAH HUKUM POTONG TANGAN ITU?
Tudingan bahwa agama Islam kejam, melanggar hak asasi manusia, terbelakang dan sangat primitive dalam penerapan hukuman, sudah lama dihembuskan oleh orang-orang yang dungu dan tidak mau berfikir jauh ke depan. Yaitu berupa emosi sesaat dan hanya memperhatikan kepentingan kelompok kecil yang bersalah dan yang berhak atas hukuman tersebut serta menutup mata dan telinga mereka terhadap masa depan masyarakat banyak dan orang-orang yang telah dirugikan dari pencurian ini.

Perlu di ingat, bahwa harta sangat berharga bagi manusia. Sehingga, dalam hal ini perhatian Islam kepada harta sangatlah besar, begitu pula perintah untuk menjaganya. Rasulullah n menyandingkan keharamannya dengan permasalahan nyawa.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَ الَكُمْ وَأَعْرَا ضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامُ، كَحُرْ مَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِيْ بَلَدِ كُمْ هَذَا، فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَأ

Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian diharamkan atas kalian, sebagaimana diharamkannya hari kalian pada saat ini, di tempat ini, dan di bulan ini [HR. Bukhâri] [3]

Pernahkah mereka berpikir, bagaimanakah perasaan orang-orang yang kehilangan harta mereka? Terlebih bila harta yang terambil adalah harta yang telah dikumpulkan selama bertahun-tahun, kemudian disimpan ditempat yang dianggap aman, ternyata hilang begitu cepat. Berpikirkah mereka, bagaimana dahsyatnya efek jera yang akan memberi keamanan bagi masyarakat luas setelahnya, dari hukuman potong tangan yang mereka anggap sebagai pelanggar norma kehidupan mereka? Hak asasi siapakah yang mereka perjuangkan?

Dalam kasus pencurian ini, syariat Islam berusaha menjaga kepentingan orang banyak daripada menjaga kepentingan si pencuri. Memberi hukuman yang berat berupa memotong tangan bertujuan membasmi sesuatu yang menjadikan kecemasan manusia pada harta mereka. Sehingga Allah Azza wa Jalla menjadikannya sebagai cambuk untuk mendapatkan maslahat yang lebih besar dibandingkan dengan kepentingan si pencuri yang hanya sesaat dan banyak menimbulkan kerusakan. Ini adalah hukuman yang setimpal yang penuh faedah dan hikmah. Bila seseorang mau berpikir, hukuman setimpal bukan berarti menzhalimi si pelaku, tetapi ini merupakan keadilan dalam peraturan Allah Azza wa Jalla yang pasti baik bagi makhluk-Nya karena hanya Dia-lah yang Maha Mengetahui segala sesuatunya. Bila hukuman ini dibiarkan diatur oleh seorang mujtahid atau seorang hakim atau kelompok tertentu, pasti akan menyebabkan saling bertentangan. Dan hasilnya tidak dapat dipastikan akan dapat mewujudkan suatu keadilan yang dapat dirasakan oleh manusia, sehingga merasa tenang dari kezhaliman dan kekerasan orang lain. [4]

SETIMPALKAH HUKUMAN POTONG TANGAN DENGAN BARANG YANG DICURI?
Ibnu Jauzi rahimahullah dan Abdul Wahhâb al-Maliki rahimahullah, mengomentari beratnya hukuman yang diberlakukan dalam had pencurian, bila dibandingkan antara harta yang tidak seberapa dengan hukuman potong tangan yang harganya bisa jadi berlipat-lipat, mereka mengatakan, “Ketika tangan tersebut dapat dijaga maka ia adalah sesuatu yang berharga, namun bila ia berkhianat maka itu akan menjadi murah”.[5]

PERAMPASAN BARANG APAKAH BERLAKU HUKUMAN POTONG TANGAN?
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata ,”Penerapan hukum potong tangan bagi pencuri senilai tiga dirham dan tidak diterapkannya kepada pelaku pencopetan, perampasan dan pemaksaan merupakan kesempurnaan hikmah syariat. Juga karena seorang pencuri sulit untuk dicegah karena ia masuk rumah orang lain secara sembunyisembunyi, merusak tempat penyimpanan dan kunci. Dan tidak memungkinkan pemilik barang melakukan penyimpanan lebih dari itu. Kalau seandainya potong tangan tidak disyariatkan, maka akan terjadi saling mencuri antar manusia, kerusakan akan membesar, semakin berbahaya. Berbeda dengan pelaku pencopetan dan perampasan, karena dia mengambil secara terangterangan dengan penglihatan manusia, yang memungkinkan mereka dapat mengambilnya kembali dari kedua tangannya dan mengembalikan hak orang yang dizhalimi atau bersaksi di hadapan hakim.[6]

Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Muslim bahwa Qâdhi Iyâd rahimahullah berkata:”Allah Azza wa Jalla menjaga harta dengan mewajibkan potong tangan bagi pencuri, dan tidak memberlakukannya pada selain pencurian seperti penjambretan, pemalakan, atau pemaksaan karena perbuatan-perbuatan tersebut lebih sedikit/ringan daripada pencurian. Dan juga korbannya dimungkinkan bisa mengambil kembali dengan meminta tolong kepada penguasa serta lebih mudah untuk ditegakkan bukti atasnya dibandingkan dengan kasus pencurian, karena jarang sekali ada bukti. Maka, pencurian itu dianggap merupakan perkara yang besar dan hukumannya lebih berat untuk lebih membuat jera.

DI ANTARA FAEDAH HUKUMAN POTONG TANGAN
Bila hukuman ini dilaksanakan, maka akan menghasilkan empat hal:
1. Keimanan terhadap Islam, baik dalam akidah, syariah atau manhaj.
2. Terwujudnya syariat Allah Azza wa Jalla pada seluruh hukumhukumnya, baik secara politik, ekonomi maupun sosial.
3. Membuktikan faedah yang dihasilkan dari hokum hudûd kepada akal dan kehidupan nyata.
4. Semangat untuk mewujudkan kemaslahatan bagi orang banyak daripada kebaikan perorangan.[7]

SEBAB DAN SYARAT HUKUM POTONG TANGAN
Yang menjadi sebab dapat dijatuhkan hokum potong tangan kepada seseorang adalah karena pencurian. Sebagaimana di firmankan oleh Allah Azza wa Jalla yang artinya , “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [al-Mâidah/5:38]

Pencurian yang dimaksud di sini adalah pengambilan harta dari pemiliknya, atau wakilnya dengan cara sembunyi sembunyi.

Harta yang dimaksud di atas tidak termasuk harta yang ditiadakan oleh syariat. Walaupun secara bahasa dianggap sebagai harta. Seperti arak, anjing, dll. Sehingga apabila seseorang mencuri anjing maka tidak akan dikenakan hukum potong tangan. Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan, “….dan mereka telah sepakat bahwa seorang Muslim bila ia mencuri khamer dari saudaranya maka ia tidak dipotong (tangannya)…..”[8]

Dari pengertian di atas dapat dipahami pula bahwa kalimat “pemiliknya atau wakilnya” tidak memasukkan pencurian selain harta yang bukan miliknya, seperti harta yang masih menjadi milik orang lain dari hasil merampas , korupsi, dll. Apabila ada orang yang mencurinya maka tidak sampai kepada hukum potong tangan.

Apakah ini berarti diperbolehkan mencuri dari seorang yang zhalim atau orang yang telah melakukan perampasan? Dalam hal ini ada dua keadaan, bila niatnya adalah untuk mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya, maka tidak mengapa. Namun bila untuk kepentingan pribadi atau keluarganya sendiri, maka jelas tidak diperbolehkan.[9]

SYARAT DILAKSANAKANNYA HUKUMAN PENCURIAN
Hukum potong tangan bukanlah hukuman yang asal dilakukan tanpa ada kriteria tertentu. Namun ia adalah hukuman yang adil, yang harus dipenuhi kriterianya, sehingga pelakunya benar-benar berhak untuk dipotong tangannya supaya menghasilkan efek jera baginya dan bagi orang lain, tanpa mengabaikan hak si pelakunya.

Syarat yang harus dipenuhi dari pelaku pencurian itu sendiri, antara lain:

• Ia seorang yang mukallaf, berniat untuk mencuri, tidak terpaksa dalam mencuri, tidak didapati adanya hubungan antara pencuri dengan yang dicuri dan tidak ada syubhat dalam melakukan pencurian. Yang dimaksud dengan mukallaf adalah seorang yang baligh dan berakal.

• Tidak terpaksa, bukan seorang yang dipaksa oleh orang lain untuk melaksanakan pencurian, dengan ancaman yang membahayakan nyawanya.

• Tidak didapati adanya hubungan kekerabatan, di sini pengertiannya adalah harta yang dicuri bukan harta anaknya sendiri. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “ Kamu dan harta kamu adalah milik bapak kamu”, atau harta bapak atau orang tuanya sendiri (menurut pendapat mayoritas para ulama). Karena anaknya adalah bagian dari orang yang akan mewarisi hartanya dan ia masih bertanggung jawab untuk memberikan nafkah kepadanya, atau dari harta suaminya atau istrinya. Adapun hubungan keluarga/kekerabatan yang lainnya maka tidak ada pengaruhnya .

• Tidak ada syubhat dalam melakukan pencurian. Maksudnya adalah tidak dalam kondisi terpaksa dalam melakukannya, misalnya ia lapar, sangat membutuhkan harta, dan sebagainya. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Ini adalah syubhat yang kuat yang dapat memalingkan hukum had karena ia sangat membutuhkannya. Ini adalah (alasan) yang lebih kuat dibandingkan dengan syubhat yang disebutkan oleh banyak para ulama…)[10]

Di antara syarat yang harus dipenuhi dalam kriteria pencurian hukuman potong tangan, yang berkaitan dengan barang yang dicuri antara lain:

1. Pencurian dilakukan dari tempat /penyimpanan yang terjaga. Ibnu Mundzir rahimahullah berkata,”Mereka sepakat bahwa potong tangan diberlakukan kepada orang yang mencuri dari tempat penyimpanan.”Yang dimaksud tempat penyimpanan/yang terjaga di sini adalah tempat penunjang yang dapat menjaga harta yang dimaksudkan dengan aman; misalnya rumah yang terkunci, lemari, atau toko yang ditutup dan semisalnya.

Pengarang Ar-Raudhah Nâdiyah (2/277) berkata: “Al-hirzu/tempat simpanan adalah yang dianggap masyarakat sebagai tempat penyimpanan harta tersebut, seperti lumbung untuk menyimpan gabah, kandang untuk menyimpan binatang dan keranjang untuk menyimpan buah-buahan.”

Tempat ini berbeda antara daerah/negara satu dengan yang lainnya; disesuaikan dengan bentuk barang, tempat yang biasa digunakan untuk penyimpanan. Bila pencurian yang dilakukan bukan pada tempat yang terjaga, seperti uang yang ditaruh di depan pintu rumah, maka pelakunya tidak sampai terkena hukuman potong tangan.[11]

2. Harta yang dicuri adalah harta yang terhormat, punya pemiliknya atau wakilnya.

3. Barang yang dicuri mencapai nishâbnya ketika diambil dari tempatnya.
Yang dimaksudkan nishâb di sini adalah adalah nishâb/batasan minimal dalam masalah pencurian,, yaitu tiga dirham atau seperempat dinar atau yang senilai dengan salah satu dari keduanya. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadist ‘Aisyahx, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tidak dipotong tangan (pencuri) terkecuali pada seperempat dinar atau lebih”

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghukum potong tangan terhadap pencurian perisai yang senilai tiga dirham [HR. Muslim:1687), Tirmidzi (1446)]

Bila dinilai dengan uang rupiah maka bisa dilihat dengan harga emas yang sekarang berlaku. Syaikh Utsaimîn berkata:”Jumlah seperempat dinar yang dimaksudkan pada zaman sekarang, sedikit sekali, yakni dinar sebesar mitsqâl–dinar Islam-, kemudian ia menanyakan orang pemilik emas, berapa ukuran mitsqâl/berat dari emas? Sedikit sekali yakni sekitar dua puluh riyal. (satu riyal sekitar dua ribu sampai tiga ribu rupiah). Lihat Liqâ‘ Maftûh (28/201).

4. Terbuktinya pencurian oleh si pelaku. Baik dengan cara bukti dua orang saksi yang menyatakan bahwa pelakulah yang mengambil atau dengan cara pengakuan dari si pelaku. Dalam masalah saksi tidak diperbolehkan adanya saksi wanita, walaupun bersaksi terhadap dua orang wanita atau lebih dengan seorang laki laki. Karena dalam masalah hukum hudûd , saksi wanita tidak di gunakan.[12]

SIAPAKAH YANG MELAKSANAKAN HUKUMAN INI?
Yang melaksanakannya adalah penguasa/ pemerintah atau orang yang ditugasi untuk menjalankannya.

APAKAH TANGANNYA YANG TELAH TERPOTONG DIGANTUNGKAN?
Imam Syafi‘i rahimahullah dan Ahmad rahimahullah berpendapat bolehnya dalam hal ini, bila dimaksudkan untuk membuat jera, berdasarkan riwayat dari at-Tirmidzi bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika didatangkan kepadanya seorang pencuri yang telah terpotong tangannya, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengalungkannya di lehernya.[13]

BAGAIMANA CARA PELAKSANAAN HUKUMAN POTONG TANGAN?
Dinukil oleh Syaikh Abdul Adzîm Badawi, dari penulis kitab Ar-Raudhatun Nâdiyah: para Ulama sepakat; seorang pencuri pada pencurian yang pertama dipotong tangan sebelah kanannya. Bila ia mencuri kedua kalinya, maka dipotong kaki kirinya. Kemudian mereka berbeda pendapat bila ia mencuri untuk ketiga kalinya; setelah dipotong tangan kanan dan kaki kirinya, mayoritas mereka berpendapat dipotong tangan kirinya. Dan bila ia mencuri lagi setelahnya maka dipotong kaki kanannya. Kemudian bila mencuri lagi, maka ia dihukum ta‘zîr dan dikurung.[14]

TERHINDARNYA PENCURI DARI POTONG TANGAN
Seorang pencuri yang dimaafkan oleh orang yang dicurinya dan belum sampai diangkat perkara/diajukan ke hakim, maka hal ini dapat menghindarkan si pencuri dari hukuman potong tangan.[15]

Akhirnya, apa yang dibutuhkan manusia adalah apa yang telah ditetapkan oleh Dzat yang telah menciptakan mereka. Karena tidak ada hukum yang lebih baik dari hukum-Nya. Dan dalam melaksanakan konsekuensi ini, seorang seharusnya tidak hanya mengedepankan pikiran pendeknya dan perasaan yang bukan pada tempatnya. Tetapi lebih mengedepankan kepastian hasil yang akan didapat bila benar-benar dijalankan sesuai dengan prosedur dan tata cara yang diatur dalam agama ini. Allah Azza wa Jalla berfirman: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.” [al-Baqarah/2/216]

Wallâhu a‘lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Kitab Al-Ijmâ‘ : 261/140, Lihat kitab Al-Wajîz hal. 443
[2]. Kitab Al-Fiqih ‘Alal Madzâhibil Arba‘ah , Abdurrahmân al-Jazirî, : 5/153
[3]. lihat Majalah Al-Buhûs Al-Islâmiyah:22/317
[4]. Lihat Majalah Jâmi‘ah Islâmiah:4/484
[5]. Ahmad al-Hasary, Al-Hudûd Wal Asyribah Fil Fiqh Islâmi : 374 – 375, Tafsîr Ibnu Katsîr:3/110
[6]. I‘lâmul Muwaqqi‘în hal 44
[7].Al-Fiqh Islâmi Wa Adillatuhu:219-222
[8]. lihat kitab Al-Wajîz hal 443
[9]. Al-Jâmi‘li Ahkâm Fiqhis Sunnah, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimînt:4/205
[10]. lihat Al-Mausû‘atul Fiqhiyyatul Kuwaitiyyah:2/8608-8609
[11]. Lihat kitab Al-Wajîz hal. 443
[12] Al-Jâmi‘ Li Ahkâm Fiqhis Sunnah, Syaikh Muhammad Bin Shâlih al-Utsaimîn:4/206-210
[13]. Lihat Asna‘al Mathâlib : 4/153, Al-Mughni :10/266
[14]. lihat kitab Al-Wajîz hal 444

[15]. Lihat Al-Wajîz hal 444

Sumber; http://almanhaj.or.id/content/3132/slash/0/syariat-hukum-potong-tangan/

Selasa, 01 April 2014



Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.

Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.[Ali ‘Imran: 102]

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa': 1]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدً يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia menang dengan kemenangan yang besar.” [Al-Ahzaab: 70-71]

Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah (Al-Qur-an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam (As-Sunnah). Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), setiap yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.

Amma ba’du:
Kepada saudara-saudaraku seiman dan se’aqidah...
Selayaknyalah kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala atas segala nikmat yag Allah karuniakan kepada kita yang semua itu wajib untuk kita syukuri. Nikmat yang Allah berikan kepada kita sangatlah banyaki, tidak dapat dan tidak akan dapat kita hitung. Maka kewajiban seorang Muslim dan Muslimah adalah mensyukuri nikmat-nikmat yang Allah karuniakan kepada kita. Di antaranya adalah nikmat Islam, nikmat iman, nikmat sehat, nikmat rizki, dan lainnya yang Allah berikan kepada kita.

Mensyukuri nikmat-nikmat Allah adalah wajib hukumnya. Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:

وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

“Seandainya kamu menghitung nikmat-nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan dapat menghitungnya. Sesungguhnya manusia sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” [Ibrahim : 34]

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan bahwa manusia sangat zhalim dan sangat kufur karena mereka tidak mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada mereka.

Di antara nikmat yang Allah berikan kepada kita adalah nikmat Islam, iman, rizki, harta, umur, waktu luang, dan kesehatan untuk beribadah kepada Allah dengan benar dan untuk menuntut ilmu syar’i.

Manusia diberikan dua kenikmatan, namun banyak di antara mereka yang tertipu. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ.

“Dua nikmat yang banyak manusia tertipu dengan keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.”[1]

Banyak di antara manusia yang tidak mengguna-kan waktu sehat dan waktu luangnya dengan sebaik-baiknya. Ia tidak gunakan untuk belajar tentang Islam, tidak ia gunakan untuk menimba ilmu syar’i. Padahal dengan menghadiri majelis taklim yang mengajarkan Al-Quran dan As-Sunnah menurut pemahaman para Shahabat, akan bertambah ilmu, keimanan, dan ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga dapat menambah amal kebaikannya.

Semoga melalui majelis taklim yang kita kaji dari kitab-kitab para ulama Salaf, Allah memberikan hidayah kepada kita di atas Islam, ditetapkan hati dalam beriman, istiqamah di atas Sunnah, serta diberikan hidayah taufik oleh Allah untuk dapat melaksanakan syari’at Islam secara kaffah (menyeluruh) dan kontinyu hingga kita diwafatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam keadaan mentauhidkan Allah dan melaksanakan Sunnah. Semoga Allah senantiasa memudahkan kita untuk selalu menuntut ilmu syar’i, diberikan kenikmatan atasnya, dan diberikan pemahaman yang benar tentang Islam dan Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih.

Seorang Muslim tidak akan bisa melaksanakan agamanya dengan benar, kecuali dengan belajar Islam yang benar berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih. Agama Islam adalah agama ilmu dan amal karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam diutus dengan membawa ilmu dan amal shalih.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا

“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” [Al-Fat-h: 28]

Yang dimaksud dengan al-hudaa (petunjuk) dalam ayat ini adalah ilmu yang bermanfaat. Dan yang dimaksud dengan diinul haqq (agama yang benar) adalah amal shalih. Allah Ta’ala mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjelaskan kebenaran dari kebatilan, menjelaskan Nama-Nama Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, hukum-hukum dan berita yang datang dari-Nya, serta memerintahkan untuk melakukan segala apa yang bermanfaat bagi hati, ruh, dan jasad.

Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyuruh ummat-nya agar mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah Ta’ala, mencintai-Nya, berakhlak yang mulia, beradab dengan adab yang baik dan melakukan amal shalih. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang ummatnya dari perbuatan syirik, amal dan akhlak yang buruk, yang berbahaya bagi hati, badan, dan kehidupan dunia dan akhiratnya. [2]

Cara untuk mendapat hidayah dan mensyukuri nikmat Allah adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Menuntut ilmu adalah jalan yang lurus untuk dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil, Tauhid dan syirik, Sunnah dan bid’ah, yang ma’ruf dan yang munkar, dan antara yang bermanfaat dan yang membahayakan. Menuntut ilmu akan menambah hidayah serta membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Seorang Muslim tidaklah cukup hanya dengan menyatakan keislamannya tanpa berusaha untuk memahami Islam dan mengamalkannya. Pernyataannya harus dibuktikan dengan melaksanakan konsekuensi dari Islam. Karena itulah menuntut ilmu merupakan jalan menuju kebahagiaan yang abadi.

1. Menuntut Ilmu Syar’i Wajib Bagi Setiap Muslim Dan Muslimah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.”[3]

Imam al-Qurthubi rahimahullaah menjelaskan bahwa hukum menuntut ilmu terbagi dua:

Pertama, hukumnya wajib; seperti menuntut ilmu tentang shalat, zakat, dan puasa. Inilah yang dimaksudkan dalam riwayat yang menyatakan bahwa menuntut ilmu itu (hukumnya) wajib.

Kedua, hukumnya fardhu kifayah; seperti menuntut ilmu tentang pembagian berbagai hak, tentang pelaksanaan hukum hadd (qishas, cambuk, potong tangan dan lainnya), cara mendamaikan orang yang bersengketa, dan semisalnya. Sebab, tidak mungkin semua orang dapat mempelajarinya dan apabila diwajibkan bagi setiap orang tidak akan mungkin semua orang bisa melakukannya, atau bahkan mungkin dapat menghambat jalan hidup mereka. Karenanya, hanya beberapa orang tertentu sajalah yang diberikan kemudahan oleh Allah dengan rahmat dan hikmah-Nya.

Ketahuilah, menuntut ilmu adalah suatu kemuliaan yang sangat besar dan menempati kedudukan tinggi yang tidak sebanding dengan amal apa pun.[4]

2. Menuntut Ilmu Syar’i Memudahkan Jalan Menuju Surga
Setiap Muslim dan Muslimah ingin masuk Surga. Maka, jalan untuk masuk Surga adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Sebab Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا، سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ، وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ، إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ الْـمَلاَئِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ، لَـمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ.

“Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) atas orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allah memudahkan atasnya di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah menutupi (aib)nya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong hamba selama hamba tersebut senantiasa menolong saudaranya. Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak dapat dikejar dengan nasabnya.” [5]

Di dalam hadits ini terdapat janji Allah ‘Azza wa Jalla bahwa bagi orang-orang yang berjalan dalam rangka menuntut ilmu syar’i, maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju Surga.

“Berjalan menuntut ilmu” mempunyai dua makna:
Pertama : Menempuh jalan dengan artian yang sebenarnya, yaitu berjalan kaki menuju majelis-majelis para ulama.

Kedua : Menempuh jalan (cara) yang mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu seperti menghafal, belajar (sungguh-sungguh), membaca, menela’ah kitab-kitab (para ulama), menulis, dan berusaha untuk memahami (apa-apa yang dipelajari). Dan cara-cara lain yang dapat mengantarkan seseorang untuk mendapatkan ilmu syar’i.

“Allah akan memudahkan jalannya menuju Surga” mempunyai dua makna. Pertama, Allah akan memudah-kan memasuki Surga bagi orang yang menuntut ilmu yang tujuannya untuk mencari wajah Allah, untuk mendapatkan ilmu, mengambil manfaat dari ilmu syar’i dan mengamalkan konsekuensinya. Kedua, Allah akan memudahkan baginya jalan ke Surga pada hari Kiamat ketika melewati “shirath” dan dimudahkan dari berbagai ketakutan yang ada sebelum dan sesudahnya. Wallaahu a’lam.•

Juga dalam sebuah hadits panjang yang berkaitan tentang ilmu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْـجَنَّةِ وَإِنَّ الْـمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّهُ لَيَسْتَغْفِرُ لِلْعَالِـمِ مَنْ فِى السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ حَتَّى الْـحِيْتَانُ فِى الْـمَاءِ وَفَضْلُ الْعَالِـمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ. إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ لَـمْ يَرِثُوا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ.

“Barangsiapa yang berjalan menuntut ilmu, maka Allah mudahkan jalannya menuju Surga. Sesungguhnya Malaikat akan meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya seorang yang mengajarkan kebaikan akan dimohonkan ampun oleh makhluk yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air. Sesungguhnya keutamaan orang ‘alim atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama itu pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang mengambil ilmu itu, maka sungguh, ia telah mendapatkan bagian yang paling banyak.”[6]

Jika kita melihat para Shahabat radhiyallaahu anhum ajma’in, mereka bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu syar’i. Bahkan para Shahabat wanita juga bersemangat menuntut ilmu. Mereka berkumpul di suatu tempat, lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka untuk menjelaskan tentang Al-Qur-an, menelaskan pula tentang Sunnah-Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala juga memerintahkan kepada wanita untuk belajar Al-Qur-an dan As-Sunnah di rumah mereka.

Sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا

"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang Jahiliyyah dahulu, dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu dengan sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan al-Hikmah (Sunnah Nabimu). Sungguh, Allah Mahalembut, Maha Mengetahui.” [Al-Ahzaab: 33-34]

Laki-laki dan wanita diwajibkan menuntut ilmu, yaitu ilmu yang bersumber dari Al-Qur-an dan As-Sunnah karena dengan ilmu yang dipelajari, ia akan dapat mengerjakan amal-amal shalih, yang dengan itu akan mengantarkan mereka ke Surga.

Kewajiban menuntut ilmu ini mencakup seluruh individu Muslim dan Muslimah, baik dia sebagai orang tua, anak, karyawan, dosen, Doktor, Profesor, dan yang lainnya. Yaitu mereka wajib mengetahui ilmu yang berkaitan dengan muamalah mereka dengan Rabb-nya, baik tentang Tauhid, rukun Islam, rukun Iman, akhlak, adab, dan mu’amalah dengan makhluk.

3. Majelis-Majelis Ilmu adalah Taman-Taman Surga
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْـجَنَّةِ فَارْتَعُوْا، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا رِيَاضُ الْـجَنَّةِ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ.

“Apabila kalian berjalan melewati taman-taman Surga, perbanyaklah berdzikir.” Para Shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud taman-taman Surga itu?” Beliau menjawab, “Yaitu halaqah-halaqah dzikir (majelis ilmu).” [7]

‘Atha' bin Abi Rabah (wafat th. 114 H) rahimahullaah berkata, “Majelis-majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis-majelis halal dan haram, bagaimana harus membeli, menjual, berpuasa, mengerjakan shalat, menikah, cerai, melakukan haji, dan yang sepertinya.” [8]

Ketahuilah bahwa majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis ilmu, majelis yang di dalamnya diajarkan tentang tauhid, ‘aqidah yang benar menurut pemahaman Salafush Shalih, ibadah yang sesuai Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, muamalah, dan lainnya.

Buku yang ada di hadapan pembaca merupakan buku “Panduan Menuntut Ilmu”. Di antara yang penulis jelaskan di dalamnya adalah keutamaan menuntut ilmu, kiat-kiat dalam meraih ilmu syar’i, penghalang-penghalang dalam memperoleh ilmu, adab-adab dalam menuntut ilmu, hal-hal yang harus dijauhkan oleh para penuntut ilmu, perjalanan ulama dalam menuntut ilmu, dan yang lainnya. Penulis jelaskan masalah menuntut ilmu karena masalah ini sangatlah penting. Sebab, seseorang dapat memperoleh petunjuk, dapat memahami dan mengamalkan Islam dengan benar apabila ia belajar dari guru, kitab, dan cara yang benar. Sebaliknya, jika seseorang tidak mau belajar, atau ia belajar dari guru yang tidak mengikuti Sunnah, atau melalui cara belajar dan kitab yang dibacakan tidak benar, maka ia akan menyimpang dari jalan yang benar.

Para ulama terdahulu telah menulis kitab-kitab panduan dalam menuntut ilmu, seperti Imam Ibnu ‘Abdil Barr dengan kitabnya Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, Imam Ibnu Jama’ah dengan kitabnya Tadzkiratus Samii’, begitu pula al-Khatib al-Baghdadi yang telah menulis banyak sekali kitab tentang berbagai macam disiplin ilmu, bahkan pada setiap disiplin ilmu hadits beliau tulis dalam kitab tersendiri. Juga ulama selainnya seperti Imam Ibnul Jauzi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (dalam Majmuu’ Fataawaa-nya dan kitab-kitab lainnya), Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (dalam kitabnya Miftaah Daaris Sa’aadah dan kitab-kitab lainnya), dan masih banyak lagi para ulama lainnya hingga zaman sekarang ini, seperti Syaikh bin Baaz, Syaikh al-Albani, dan Syaikh al-‘Utsaimin rahimahumullaah.

Dalam buku ini, penulis berusaha menyusunnya dari berbagai kitab para ulama terdahulu hingga sekarang dengan harapan buku ini menjadi panduan agar memudahkan kaum Muslimin untuk menuntut ilmu, memberikan semangat dalam menuntut ilmu, beradab dan berakhlak serta berperangai mulia yang seharusnya dimiliki oleh setiap penuntut ilmu. Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi penulis dan para pembaca sekalian, serta bagi kaum Muslimin. Mudah-mudahan amal ini diterima oleh Allah Subhaanahu wa Ta'ala dan menjadi timbangan amal kebaikan penulis pada hari Kiamat. Dan mudah-mudahan dengan kita menuntut ilmu syar’i dan mengamalkannya, Allah ‘Azza wa Jalla akan memudahkan jalan kita untuk memasuki Surga-Nya. Aamiin.

Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para Shahabat beliau, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan kebaikan hingga hari Kiamat.

[Disalin dari Muqaddimah buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
________
Footnotes
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6412), at-Tirmidzi (no. 2304), Ibnu Majah (no. 4170), Ahmad (I/258,344), ad-Darimi (II/297), al-Hakim (IV/306), dan selainnya dari Shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[2]. Lihat kitab Taisiir Karimir Rahmaan fii Tafsiir Kalaamil Mannaan (hal. 295-296) karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (wafat th. 1376 H) rahimahullaah, cet. Muassasah ar-Risalah, th. 1417 H.
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 224), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3913). Diriwayatkan pula oleh Imam-imam ahli hadits yang lainnya dari beberapa Shahabat seperti ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id al-Khudri, dan al-Husain bin ‘Ali radhiyallaahu ‘anhum
[4]. Lihat Tafsiir al-Qurthubi (VIII/187), dengan diringkas. Tentang pembagian hukum menuntut ilmu dapat juga dilihat dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/56-62) oleh Ibnu ‘Abdil Barr.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699), Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud (no. 3643), At-Tirmidzi (no. 2646), Ibnu Majah (no. 225), dan Ibnu Hibban (no. 78-Mawaarid), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh ini milik Muslim.
• Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (II/297) dan Qawaa’id wa Fawaa-id minal Arba’iin an-Nawawiyyah (hal. 316-317).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (V/196), Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682), Ibnu Majah (no. 223), dan Ibnu Hibban (no. 80 al-Mawaarid), lafazh ini milik Ahmad, dari Shahabat Abu Darda’ radhiyallaahu ‘anhu.
[7]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3510), Ahmad (III/150) dan lainnya, dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.” Lihat takhrij lengkapnya dalam Silsilah ash-Shahiihah (no. 2562).
[8]. Disebutkan oleh al-Khatib al-Baghdadi dalam al-Faqiih wal Mutafaqqih (no. 40). Lihat kitab al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 132).

Sumber; http://almanhaj.or.id/content/2307/slash/0/menuntut-ilmu-jalan-menuju-surga/